OTOTOKSIK KARENA KONSUMSI AMINOGLIKOSIDA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini penyebab ketulian memang belum jelas, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara teliti pada penderita, maka terungkap bahwa sebagian besar ketulian penderita disebabkan karena obat atau yang biasa disebut dengan ototoksik, selain karena akibat mekanik atau faktor eksternal lain.
Penyebab umum gangguan pendengaran, terutama di negara-negara berkembang, adalah ototoxicity. ototoxic yang berupa kehilangan pendengaran terjadi ketika seseorang mengambil atau diberi obat yang menyebabkan gangguan pendengaran sebagai salah satu dari efek samping. Kadang-kadang obat yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, dan gangguan pendengaran adalah harga yang harus dibayar untuk bisa hidup
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk Arsen, etil, metal alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi pemicu terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler.
Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan diklinik rupanya memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan oleh streptomisin. Konsumsi Aminoglikosid dapat menyebabkan kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam, sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik.
Gejala mula-mula ialah timbulnya tinitus atau kadangkadang disertai dengan gangguan keseimbangan, sehingga bila obat diteruskan pemberiannya akan mengakibatkan ketulian. Sifat ketulian tersebut dapat reversibel atau irreversibel bila pemberian obat dihentikan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang Ototoksik khususnya yang disebabkan oleh obat golongan Aminoglikosida.
2. Mengetahui penatalaksanan dari Ototoksik yang terjadi karena konsumsi obat ototoksik hususnya Aminoglikosida.
C. Manfaat Penulisan
Untuk dapat memberikan penyuluhan tentang efek konsumsi obat golongan Aminoglikosida terhadap organ pendengaran. Sehingga diharapkan dalam penggunaan obat golongan Aminoglikosida dapat berhati-hati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Ototoksik
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen.
Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antaralain adalah obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal.
Gejala
Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dan dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus , gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas
Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika penting yang digunakan baik secara topikal atau pun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein.
Aminoglikosida dihasilkan oleh fungi Streptomyces dan micromonospora. Mekanisme kerjanya: bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel
Termasuk golongan ini: Streptomisin, Gentamisin, Neomisin, Kanamisin, Amikasin, Tobramisin, Kapreomisin. Spektinomisin dan Viomisin memiliki bagian struktur aminoglikosida, tetapi secara kimiawi tidak memiliki inti yang sama.
Pemakaian obat golongan Aminoglikosida dapat melalui telinga dalam melalui sistem darah, melalui inhalasi, atau melalui difusi dari telinga tengah ke telinga bagian dalam. Selain itu dapat juga dengan memasuki aliran darah dalam jumlah terbesar bila diberikan secara intravena (oleh IV).
Mekanisme kerja
aktivitas tergantung pada kadarnya, pada kadar rendah bersifat bakteriostatik, dan kadar tinggi bersifat bakterisid terhadap mikroba yang sensitif. Juga aktivitas potensinya lebih kuat pada suasana alkali daripada suasana asam. Pada keadaan anaerobik akan menurunkan potensi aktivitas. Golongan ini mengikatkan diri pada subunit 30S ribosom yang sensitive dari mikroba tersebut. Di samping ,efek terhadap ribosom tersebut juga menimbulkan berbagai efek sekunder terhadap fungsi sel mikroba, yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keuntuhan membran dan keutuhan RNA.
Perbedaan antar sesama aminoglikosida bersifat kuantitatif. Pada Kanamisin, Amikasin dan Gentamisin, potensi antimikrobanya melebihi Streptomisin.
Spektrum
Pada umumnya menunjukkan banyak persamaan dengan Streptomisin, a.l. terhadap Brucella. H. ducreyi, Actinobacilles, P. pestis dan Shigella, juga terhadap E. coli, M. tbc., Nocardia, Proteus.
Farmakokinetika
Sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada pemberian peroral tujuannya hanya untuk mendapatkan khasiat lokal dalam saluran cerna saja; umpamanya pada infeksi saluran cerna.
Untuk mendapatkan kadar sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu diberikarl secara perenatal dan biasanya dalam bentuk garam sulfat. Kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Peningkatan oleh protein plasma darah jelas terlihat pada Streptomisin yang berjumlah ± 1/3 dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Distribusi cukup meluas ke dalam seluruh cairan tubuh, kecuali ke dalam cairan otak.
Ekskresi
Terutama melalui ginjal dengan filtrasi glomeruler. Aminoglikosida yang diberikan dalam dosis tunggal, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal, keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan terutama pada Gentamisin., menunjukkan adanya kumulasi tertinggi dalam jaringan hati, media ginjal, otot skelet dan kelenjar ± 15%.
Adanya hambatan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi aminoglikosida yang berakibat terjadinya kumulasi dan cepat meningkatnya kadar dalam darah sampai lebih cepat mencapai kadar toksik. Juga pada bayi yang baru lahir/prematur dan penderita usia lanjut, dengan adanya gangguan ekskresi, masa paruh akan cepat meningkat.
Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida terutama target ginjal dan sistem cochleovestibular, namun tidak jelas ada korelasi antara tingkat nephrotoxicity dan ototoxicity. Toksisitas koklea yang mengakibatkan gangguan pendengaran biasanya dimulai dalam frekuensi tinggi dan sekunder untuk kerusakan ireversibel luar sel-sel rambut pada organ Corti, terutama pada pergantian basal koklea.
Mekanisme aminoglikosida ototoxicity diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar.. Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida sintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksi dengan oksida nitrat untuk membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secara langsung merangsang sel mati. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisi seperti sebagai besi dan tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnya fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen.
Ototoxicity aminoglikosida kemungkinan multifaktor, dan penyelidikan lebih lanjut terus berlanjut. Beberapa penelitian sedang menyelidiki chelators besi dan antioksidan sebagai agen mungkin untuk mencegah gangguan pendengaran selama terapi, sementara studi lain mengeksplorasi bentuk terapi gen sebagai pilihan pengobatan di masa depan.
Saat ini, tidak ada perawatan yang tersedia selain dari amplifikasi dan implantasi koklea, karena itu, pencegahan sangat penting.
Faktor risiko
Faktor-faktor tertentu bisa menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk ototoxicitas.. Ototoxicity aminoglikosida lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar, tingkat darah tinggi, atau lebih lama terapi. Lain pasien risiko tinggi termasuk pasien usia lanjut, mereka yang gagal ginjal, mereka yang memiliki masalah pendengaran yang sudah ada sebelumnya, orang-orang dengan sejarah keluarga ototoxicity, dan mereka yang menerima diuretik loop atau ototoxic lainnya atau obat-obatan nefrotoksik.
Sebuah kecenderungan genetik mitokondria ada di mutasi RNA 1555A> G, yang telah ditemukan untuk dihubungkan dengan nonsyndromic dan aminoglikosida-akibat gangguan pendengaran. Hal tersebut menyebabkan perubahan dalam sintesis protein mitokondria yang memiliki potensi lebih cepat dalam menimbulkan dampak ototksisitas karena Aminoglikosida.. Evaluasi yang teliti terhadap sejarah keluarga adalah penting dan dapat mencegah banyak kasus.. Selain itu, beberapa telah menyarankan bahwa populasi berisiko tinggi (misalnya, pasien dengan fibrosis kistik, sejarah keluarga, dan disfungsi kekebalan) harus diperiksa untuk antisipasi terjadinya efek ototoksik.
Efek samping
Dapat dibagi 3 kelompok :
1) allergi
2) reaksi irritasi dan toksik
3) perubahan biologik.
1. Reaksi allergi
Reaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulai dari pruritis, urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada yang berat ialah dermatitis eksfoliativa.
Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia. Gejala lain ialah stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin, Kanamisin, dan Gentamisin.
2. Reaksi iritasi dan toksik
Timbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. EfekI ototoksik; terutama terhadap saraf N VIII mengenai vestibuler dan akustik. Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler, sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh pelbagai faktor, antara lain besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat).
Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala –gejala ini bersifat reversibel dan kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12 sampai 18 bulan.
Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama 60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per hari, gejala terlihat pada 25% penderita.
Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%, dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar 7%. Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi.
Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin 4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas. Kanamisin 30%. Neomisin paling mudah menimbulkan tuli saraf. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain efek ototoksik, juga timbul effek nefrotoksik dan neurotoksik.
3. Perubahan biologi
Adanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus.Adanya interaksi obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik.
Macam obat golongan Aminoglikosida dan interaksinya
• Streptomisin:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan bberhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat untuk pengobatan TBC.
• Gentamicin:
Seperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi sistem vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada umumnya dianggap aman tapi masih dapat bersifat ototoksik pada beberapa pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal.
• Neomycin:
Agen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan secara peroral dan dalam dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomisin merupakan salah satu aminoglikosida yang paling lambat untuk mempengaruhi Perilimfe; akibatnya dapat muncul 1-2 minggu setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah penghentian terapi. Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal dalam saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia.
• Kanamycin:
Meskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin, kanamycin cukup bersifat ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut koklea, ditandai frekuensi tinggi gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak terutama ke koklea, sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan klinis saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara parenteral umumnya tidak dianjurkan.
• Amikacin:
amikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas sangat sedikit terhadap organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang melibatkan sistem pendengaran, namun itu dianggap kurang ototoxic dari pada gentamisin.
• Tobramycin:
Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin; menyebabkan tuli pada nada berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya ototoksik terhadap organ vestibuler. Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal. Terapi Topikal digunakan, umumnya dianggap aman.
Penatalaksanaan
Saat ini, tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikkan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dalam diketahui secara audiiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung dari jenis obat, jumlah, dan lamanya penggunaan obat. Hal tersebut lebih rentan terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan jenis obat itu sendiri.
Pengobatan yang tersedia saat ini ditujukan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi. Individu dengan gangguan pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, termasuk dengan mengguanakn sisa pendengaran dewngan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan blajar bahasa isyarat. Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah mendalam dapat diatasi dengan melakukan implan koklea. Dalam kasus kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat bernilai bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbangan
Tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan pada awalnya. kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk mekanismenya di rusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap organ vestibuler, sehingga gejala awal seperti tinnitus ataupun vertigo menjadi berkurang, walaupun pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ vestibuler lainnya atau organ akustik yang lain.
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik , maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah , lamanya pengobatan, dan kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Obat-obat yang dapat menyebabkan ketulian: golongan aminoglikosida, obat anti malaria, golongan salisilat, dan obat anti kanker.
Dari golongan amonoglikosida, yang paling sering pemakaiannya dan sering menimbulkan ketulian ialah Spreptomisin, Gentamisin dan Neomisin. Pemakaian kanamisin cukup banyak, tetapi persentase ketulian lebih kecil dibandingkan dengan ketiga obat tersebut. Efek teratogenik sering terjadi pada pemberian golongan aminoglikosida, yaitu berupa ketulian pada janin.
Walaupun Samapai saat ini belum ditemukan pengobatan untuk menyembuhkan tuli sensoryneural yang terjadi karena efek penggunaan obat golongan Aminoglikosida, penanganan yang membantu dapat dilakukan dengan implant coclea selain itu juga dapat dilakukan dengan terapi fisik untuk menjaga keseimbangan.
Saran
• Hendaknya berhati-hati dalam memberikan obat-obatann yang dapat menjadi pemicu timbulnya tuli sensory neural yang terjadi karena reaksi ototksisitas obat baik pada neonatus, bayi, anak, orang dewasa, orang tua dan juga pada ibu hamil.
• Apabila dalam terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-obatan yang bersifat ototoksik, semisal obat golongan Aminoglikosida hendaknya sebelum memulai pengobatan terlebihdahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien selain itu dilakukan juga uji keseimbangan dan tak lupa mengingatkan pasien tentang potensial ototoksisitas dari obat yang digunakannya. Sebaiknya pemantauan dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat yang bersifat ototoksik. Sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat ditanggulangi lebih dini.
• Hendaknya selama pengobatan monitoring fungsi pendengaran jangan diabaikan
Daftar pustaka
Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Edmunds ann L., November 2008. Iner Ear Ototoxycity. www.emedicine.com
Sriwidodo., 1998, Cermin dunia kedokteran: problema dan tatalaksana gangguan pendengaran, Jakarta: PT KalbeFarma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar