Sabtu, 24 Maret 2012

Glaukoma Sekunder

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Glaucoma adalah penyakit mata yang ditandai dengan extravasasi glaukomatosa, neuropati saraf optic, serta kerusakan lapang pandang yang khas dan utamanya diakibatkan oleh tekanan bola mata yang tidak normal (Perdami, 2002).
Neuropati optic tersebut disebabkan oleh tekanan intraocular (TIO) yang relatif tinggi, yang ditandai oleh kalainan lapang pandang yang khas dan atrofi papil saraf optic. Pada keadaan ini TIO tidak harus selalu tinggi. Tetapi TIO relative tinggi untuk individu tersebut. Missal untuk populassi normal TIO sebesar 18 mmHg masih normal, tetapi pada individu tertentu tekanan sebesar itu sudah dapat menyebabkan glaucoma, yang disebut dengan glaucoma normotensi, atau glaucoma tekanan rendah (Suhardjo, 2007).
Di Indonesia glaucoma kurang dikenal masyarakat, padahal cukup banyak yang menjadi buta karenanya. Pada glaucoma kronik dengan sudut bilik mata terbuka misalnya, kerusakan saraf optic terjadi perlahan-lahan hamper tanpa keluhan subjektif. Hal ini menyebabkan penderita datang terlambat pada dokter. Biasanya kalau sudah memberikan keluhan, keadaan galukoma sudah menjadi lanjut. Dalam masyarakat yang kesadaran akan kesehatan atau pendidikan masih kurang, dokter perlu secara aktiv menemukan kasus glaucoma kronis, yaitu dengan mengadakan pengukuran bola mata secara rutin (Perdami, 2002).
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi dari glaucoma sekunder, etiologinya, gejala dan tanda yang muncul, cara menegakkan diagnosanya, serta penatalaksaannya yang tepat.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh meningkatnya tekanan intraokuler yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan pengecilan lapang pandang. Tekanan bola mata yang normal dinyatakan dengan tekanan air raksa yaitu antara 15-20 mmHg. Tekanan bola mata yang tinggi juga akan mengakibatkan kerusakan saraf penglihat yang terletak di dalam bola mata. Pada keadaan tekanan bola mata tidak normal atau tinggi maka akan terjadi gangguan lapang pandangan. Kerusakan saraf penglihatan akan mengakibatkan kebutaan (Perdami, 2002).
Makin tinggi tekanan bola mata makin cepat terjadi kerusakan pada serabut retina saraf optik. Pada orang tertentu dengan tekanan bola mata normal telah memberikan kerusakan pada serabut saraf optik (Normal tension glaucoma – glaukoma tekanan rendah) (Suhardjo, 2007).
Tekanan bola mata pada glaukoma tidak berhubungan dengan tekanan darah. Tekanan bola mata yang tinggi akan mengakibatkan gangguan pembuluh darah retina sehingga mengganggu metabolisme retina, yang kemudian disusul dengan kematian saraf mata. Pada kerusakan serat saraf retina akan mengakibatkan gangguan pada fungsi retina. Bila proses berjalan terus, maka lama-kelamaan penderita akan buta total (Perdami, 2002).
Klasifikasi glaucoma terdapat beberapa macam antara lain yaitu, glaucoma primer, glaucoma sekunder dan glaucoma congenital.
Glaucoma sekunder merupakan glaukoma yang diketahui penyebab yang menimbulkannya. Hal tersebut disebabkan oleh proses patologis intraokular yang menghambat aliran cairan mata (cedera, radang, tumor)
Penyebab utama glaukom sekunderantara lain iridosiklitis (radang intraokular), cedera tembus, lesi corpus siliar, sinekia anterior, luksasi lensa, penyakit pembuluh darah (oklusi vena sentral, rubeosis iridis diabetes dengan neovaskularisasi di dalam sudut bilik mata, perdarahan intraokular) yang bisa mengakibatkan terjadinya apa yang dinamakan glaukoma neovaskular, tumor intraocular (melanoma uvea, retinoblastoma), fibroplasias dll. Kelainan mata tersebut dapat menimbulkan meningkatnya tekanan bola mata (Suhardjo, 2007).

ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan intra okular ini, disebabkan:
1. Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar.
2. Hambatan aliran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil (glaukoma hambatan pupil).
3. Sangat mungkin merupakan penyakit yang diturunkan dalam keluarga.
4. Glaukoma dapat timbul akibat penyakit atau kelainan dalam mata.
5. Glaukoma dapat diakibatkan penyakit lain di tubuh.
6. Glaukoma dapat disebabkan efek samping obat misalnya steroid.
Glaukoma merupakan penyakit yang tidak dapat dicegah, akan tetapi bila diketahui dini dan diobati maka glaukoma dapat diatasi untuk mencegah kerusakan lanjutnya. Glaucoma sekunder Merupakan glaukoma yang diketahui penyebabnya, biasanya dari penyakit mata yang lain ( Ilyas,2004 ).
Yang termasuk glaukoma sekuder adalah glaukoma yang disebabkan oleh :
- Uveitis
- Tumor intra okuler
- Trauma mata
- Perdarahan dalam bola mata
- Perubahan-perubahan lensa
- Kelainan-kelainan congenital
- Kortikosteroid
- Post operasi
- Rubeosis iridis
- Penyakit sistemik,dll.
Glaukoma sekunder, kelainannya terdapat pada :
a) Sudut bilik mata, akibat geniosinekia, hifema, stafiloma kornea dan kontusio sudut bilik mata.
b) Pupil, akibat seklusi pupil dan oklusi relative pupil oleh sferotakia.
c) Badan silier, seperti rangsangan akibat luksasi lensa.
Glaukoma dibangkitkan lensa merupakan salah satu bentuk glaucoma sekunder.
Glaukoma terjadi bersama-sama dengan kelainan lensa seperti :
a. Luksasi lensa anterior, dimana terjadi gangguan pengaliran cairan mata ke sudut bilik mata.
b. Katarak imatur, dimana akibat mencembungnya lensa akan menyebabkan penutupan sudut bilik mata.
c. Katarak hiperatur, dimana bahan lensa keluar dari lensa sehingga menutupi jalan keluar cairan mata.
Glaukoma yang terjadi akibat penutupan sudut bilik mata oleh bagian lensa yang lisis ini disebut glaukoma fakolitik, pasien dengan galukoma fakolitik akan mengeluh sakit kepala berat, mata sakit, tajam pengelihatan hanya tinggal proyeksi sinar. Pada pemeriksaan objektif terlihat edema kornea dengan injeksi silier, fler berat dengan tanda-tanda uveitis lainnya, bilik mata yang dalam disertai dengan katarak hiperatur. Tekanan bola mata sangat tinggi (Wijana, 1993).

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kira-kira 2.2 juta orang pada usia 40 tahun dan yang lebih tua mengidap glaukoma, sebanyak 120,000 adalah buta disebabkan penyakit ini. Banyaknya Orang Amerika yang terserang glaucoma diperkirakan akan meningkatkan sekitar 3.3 juta pada tahun 2020. Tiap tahun, ada lebih dari 300,000 kasus glaukoma yang baru dan kira-kira 5400 orang menderita kebutaan. Glaukoma akut (sudut tertutup) merupakan 10- 15% kasus pada orang Kaukasia. Persentase ini lebih tinggi pada orang Asia, terutama pada orang Burma dan Vietnam di Asia Tenggara.. Glaukoma pada orang kulit hitam, lima belas kali lebih menyebabkan kebutaan dibandingkan orang kulit putih (Miranti, 2002).

FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko yang dapat mengarah pada glaukoma adalah:
1. Peredaran dan regulasi darah yang kurang akan menambah kerusakan
2. Tekanan darah rendah atau tinggi
3. Fenomena autoimun
4. Degenerasi primer sel ganglion
5. Usia di atas 45 tahun
6. Riwayat glaukoma pada keluarga
7. Miopia berbakat untuk menjadi glaukoma sudut terbuka
8. Hipermetropia berbakat untuk menjadi glaukoma sudut tertutup
9. Paska bedah dengan hifema atau infeksi ( Ilyas,2004 ).
Hal yang memperberat resiko glaukoma adalah:
a. Tekanan bola mata, makin tinggi, makin berat
b. Makin tua, makin berat
c. Resiko kulit hitam 7 kali dinbanding kulit putih
d. Hipertensi memiliki resiko 6 kali lebih sering
e. Kerja las, 4 kali lebih sering
f. Penderita mempunyai keluarga yang menderita glaukoma, resiko 4 kali lebih sering
g. Penggunaan tembakau 4 kali lebih sering
h. Myopia, resiko 2 kali lebih sering
i. Diabetes mellitus, 2 kali lebih sering
Tanda dini glaukoma tidak boleh diabaikan, karena pemeriksaan yang dini akan memiliki prognosis yang lebih baik. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan terhadap glaukoma secara teratur setiap tahun untuk pencegahan (Suhardjo, 2007).

KLASIFIKASI
Jenis glaucoma sekunder berdasarkan sudutnya dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Glaucoma sekunder sudut terbuka
• Uveitis
• Katarak hipermature
• Hifema
• Kerusakan akibat iridokorneal akibat trauma tumpul
• Pemakaian steroid jangka panjang
2. Glaucoma sekunder sudut terbuka
• Tumor yanh berasal dari uvea/ retina yang mendesak iris kedepan
• Neovascularisasi , missal pada retinopaty diabeticum

PATOFISIOLOGI
Glaukoma sekunder ini bisa terdapat dengan sudut terbuka ataupun sudut tertutup.
1)Glaukoma Sekunder akibat Uveitis
Terjadi udem jaringan trabekula dan endotel sehingga menimbulkan sumbatan pada muara trabekula. Peninggian protein pada aqueous dan sel radang akan memblokir trabekula. Juga terdapat hiperekskresi karena adanya iritasi (Suhardjo, 2007).
2) Glaukoma Sekunder akibat Tumor Intra Okuler
Glaukoma terjadi karena volume yang ditempati tumor makin lama makin besar, iritasi akibat zat toksik yang dihasilkan tumor, dan sudut KOA tertutup akibat desakan tumor ke depan. Contohnya, pada melanoma dan retinoblastoma (Suhardjo, 2007).
3) Glaukoma Sekunder akibat Trauma Mata
Trauma tumpul atau tembus dapat menimbulkan robekan iris atau corpus siliar dan terjadilah perdarahan pada KOA, TIO meninggi dengan cepat, dan hasil-hasil pemecahan darah atau bekuan menempati saluran-saluran aliran cairan. Komplikasi yang timbul kalau TIO tidak diturunkan adalah imbibisi kornea (Suhardjo, 2007).
4) Glaukoma Sekunder akibat Perubahan Lensa
a. Dislokasi lensa (sublukasi/luksasi)
Subluksasi anterior, menekan iris posterior ke depan, sehingga menahan aliran akuos karena sudut KOA menjadi sempit. Sublukasi juga bisa ke posterior. Luksasi lensa juga bisa ke KOA (Suhardjo, 2007).
b. Pembengkakan lensa
Ini terjadi pada lensa yang akan mengalami katarak. Lensa akan menutup pupil sehingga terjadi blok pupil (Suhardjo, 2007).
c. Glaukoma fakolitik
Kapsul lensa katarak hipermatur memiliki permeabilitas yang tinggi. Melalui tempat-tempat yang bocor keluar massa korteks, yang kemudian dimakan makrofag di KOA. Makrofag ini berkumpul di sekeliling jala trabekula dan bersama-sama material lensa akan menyumbat muara trabekula sehingga terjadilah glaukoma sekunder sudut terbuka.
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atropi sel ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus menjadi atropik, disertai pembesaran cekungan optikus. Iris dan korpus siliaris juga menjadi atropik dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin. Pada kasus ini mekanisme terjadinya glaucoma sekunder yaitu sesuai dengan mekanisme Glaukoma Fakolitik: Sebagian katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran kapsul lensa anterior, sehingga protein-protein lensa yang mencair masuk ke bilik mata depan. Jalinan tabekular menjadi edematousa dan tersumbat oleh protein-protein lensa dan menimbulkan peningkatan mendadak tekanan intraocular (Suhardjo, 2007).
d. Glaukoma fakoanafilaktik
Protein lensa dapat menyebabkan reaksi fakoanafilaktik, dalam hal ini terjadi uveitis. Protein dan debris seluler menempati sistem ekskresi dan menutup aliran akuos (Suhardjo, 2007).
5) Glaukoma Sekunder akibat Kortikosteroid
Patogenesa nya belum jelas. Sering dengan sudut terbuka disertai riwayat glaukoma yang turun temurun. Beberapa teori menyatakan bahwa terdapat timbunan glikosaminoglikan dalam bentuk polimer dalam trabekulum meshwork yang mengakibatkan biologic edema sehingga resistensi humor akuos bertambah, steroid juga diketahui dapat menekan proses fagositosis sel endotel trabekulum sehingga debris pada cairan humor akuos tertimbun di trabekulum (Suhardjo, 2007).
6) Hemorrhagic Glaucoma
Bentuk ini diakibatkan pembentukan pembuluh darah baru pada permukaan iris (rubeosis iridis) dan pada sudut KOA. Jaringan fibrovaskuler menghasilkan sinekia anterior yang akan menutup sudut KOA, akibatnya TIO meninggi, dan mata yang demikian sering mendapat komplikasi dari recurrent hyfema (Suhardjo, 2007).

PEMERIKSAAN
Sebelum melakukan penanganan lanjut hendaknya dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sesuai dengan gejala yang ada pada penderita:
Gejala yang ditimbulkan tergantung penyakit dasarnya. Ditambah dengan gejala dari jenis glaukoma nya, apakah sudut tertutup atau sudut terbuka.
1. Anamnesis
Dari anamnesis akan didapatkan gejala-gejala klinik berupa nyeri pada bola mata, injeksi pada konjungtiva, melihat gambaran haloes, dan penglihatan seperti terowongan (tunnel vision). Penyakit sistemik yang mungkin mempengaruhi penglihatan atau mempengaruhi pengobatan nantinya juga perlu dianamnesis, seperti penyakit diabetes mellitus, penyakit paru-paru dan kardiovaskuler, hipertensi dan berbagai penyakit neurologis lainnya perlu dianamnesis. Pada anamnesis juga harus dicantumkan riwayat ophtalmologi, baik yang sekarang ataupun yang lampau, derajat social, riwayat penggunaan tembakau dan alcohol, dan riwayat penyakit dalam keluarga (Hamurwono, 1996).
Gejala sekunder sudut terbuka
• Mata tidak terasa sakit
• Mata tenang
• Sedikit atau tidak menimbulkan keluhan
• Uveitis : apabila tidak ditangani akan menyebabkan glaucoma sekunder
• Katarak hipermature à korteks lensa mencair à katarak morgagni (lensa tenggelam kearah bawah) à bilik mata menjadi dalam à pada uji gambaran iris akan memebreikan gambaran pseudopositif
• Trauma tumpul à hifema à adanya darah di bilik mata depan à peningkatan TIO

Glaucoma sekunder sudut tertutup
• Katarak hipermature à korteks lensa mencair à katarak morgagni (lensa tenggelam kearah bawah) à bilik mata menjadi dalam à pada uji gambaran iris akan memebreikan gambaran pseudopositif
• Trauma tumpul à hifema à adanya darah di bilik mata depan à peningkatan TIO
2. Pemeriksaan pada mata
a. Ketajaman penglihatan
Pemeriksaan ketajaman penglihan bukan merupakan pemeriksaan yang khusus untuk glaucoma karena tajam penglihatan 6/6 belum tentu tidak ada glaucoma
b. Pemeriksaan tekanan bola mata
Tekanan bola mata tidak tetap dari hari ke hari. Ada beberapa orang dengan tekanan bola mata yang tinggi tetapi tidak memperlihatkan gejala glaucoma lainnya, sebaliknya, ada beberapa orang yang mempunai tekanan bola mata yang rendah tetapi memiliki tanda-tanda galukoma. Oleh sebab itu, pemeriksaan dengan tonometri bukan merupakan pemeriksaan satu-satunya untuk mendiagnosa glaucoma. Tekanan bola mata tidak sama pada setiap orang. Tekanan mata pada kebanyakan orang adalah di bawah 20 mmHg tanpa kerusakan saraf optic dan gejala glaucoma.
Sebagian besar penderita glaucoma memiliki tekanan lebih dari 20 mmHg. hal yang perlu dilakukan dalam mendiagnosa glaucoma adalah:
• Bila tekanan 21 mmHg, rasio kontrol C/D, periksa lapangan pandangan sentral, temukan titik buta yang meluas dan skotoma sekitar titik fiksasi.
• Bila tensi 24-30 mmHg, kontrol lebih ketat dan lakukan pemeriksaan di atas bila masih dalam batas-batas normal mungkin suatu hipertensi okuli ( Ilyas,2004 ).
c. Pemeriksaan lapangan pandang
Gangguan penglihatan terjadi akibat gangguan peredaran darah terutama pada papil saraf optik. Pembuluh darah retina yang mempunyai tekanan sistolik 80 mmHg dan diastolik 40 mmHg akan kolaps bila tekanan bola mata 40 mmHg. Akibatnya akan terjadi gangguan peredaran serabut saraf retina, yang akan mengganggu fungsinya. Pembuluh darah kecil papil akan menciut sehingga peredaran darah papil terganggu yang akan mengakibatkan ekskavasi glaukomatosa pada papil saraf optik. Akibat keadaan ini perlahan-lahan terjadi gangguan lapang pandangan dengan gambaran skotoma khas untuk glaukoma.
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan lapangan pandang adalah perimeter Goldmann yang merupakan pemeriksaan khusus pada glaucoma. Alat ini digunakan untuk diagnosis dan penilaian kemajuan terapi. Apabila alat ini tidak tersedia, dapat dilakukan secara konfrontasi.


d. Ophtalmoskopi.
untuk menilai kerusakan saraf optic Adanya depresi n.opticus di belakang mata akibat penekanan tekanaan intraokular. Terjadi pelebaran n.opticus yang disebut dengan cuppin. Hal ini berarti kondisi sudah dalam tahap lanjut.
e. Gonioskop
untuk menentukan jenis glaucoma Pemeriksaan gonioskopi dilakukan untuk mengetahui jenis glaucoma terbuka atau tertuup. Pada uji gonioskopi, lensa cermin ditaruh di depan kornea sehingga dapat dilihat sudut bilik mata secara lagsung. Sudut sempit atau sudut tertutup dapat dilihat.
Pemeriksaan ini harus dilakukan rutin pada penderita glaucoma. Gonioskopi dapat menentukan apakah seseorang akan mendapat serangan glaukma sudut tertutup, sehinga ia akan mencari pengobatan segera apbila mulai terjadi serangan.
DIAGNOSIS
Tergantung penyakit dasar dan tipe glaucoma
DIAGNOSA BANDING
Iridosiklitis dengan glaukoma sekunder kadang-kadang sukar dibedakan. Goniuskopi untuk menentukan jenis sudut sangatlah membantu. Jika pengamatan terganggu dengan adanya kekeruhan kornea atau kekeruhan didalam bilik mata depan, maka untuk memastikan diagnosis bisa dilakukan genioskopi pada mata lainnya, dan ini sangat membantu (Perdami, 2002).

KOMPLIKASI
A. Sinelia anterior perifer
Iris perifer melekat pada jalinan trabekel dan menghambat aliran mata keluar (Wijana, 1993).
B. Katarak
Lensa kadang-kadang melekat membengkak, dan bisa terjadi katarak. Lensa yang membengkak mendorong iris lebih jauh kedepan yang akan menambah hambatan pupil dan pada gilirannya akan menambah derajat hambatan sudut (Wijana, 1993).
C. Atrofi retina dan saraf optik
Daya tahan unsure-unsur saraf mata terhadap tekanan intraokular yang tinggi adalah buruk. Terjadi gaung glaukoma pada pupil optik dan atrofi retina, terutama pada lapisan sel-sel ganglion(Wijana, 1993) .

TATALAKSANA
Obati dulu penyakit dasarnya. Untuk glaukoma, penatalaksanaannya sama dengan penjelasan sebelumnya, tergantung tipe glaukoma yang ditimbulkan (Perdami, 2002).
Apabila terjadi karena uveitis, maka kita obati dulu penyebab awalnya yaitu dengan pemberian midriatkum, steroid, obat-obbatan sitotoksik, dan pemberian siklosporin (Suhardjo, 2007).
Pada glaukom sekunder yang disebabkan oleh katarak yang pertama turunkan dahulu tekanan intraokulernya, setelah turun baru dilanjutkan dengan operasi katarak. Sedangkan pada glaukom sekunder yang terjadi karena penggunaan steroid jangka panjang yaitu hentikan dulu penggunaan steroidnya baru kemudian dilakukan penurunan tekanan intraokuler. Pada glaukoma yang disebabkan oleh tumor yang berasal dari uvea atau retina seabaiknya diberikan obat penurun tekanan intraokuler sampai dengan dilkuakan tindakan enukleasi bulbi. Sedang glaukom yang disebabkan oleh neovaskularisasi pada retinopati diabetikum dapat diberikan obat penurun tekanan intraokuler yang bersifat menurunkan produksi humor akuos yang dikombinasikan dengan tetes mata sikloplegik dan tetes mata steroid (suhardjo, 2007).
Tujuan utama terapi glaukoma adalah dengan menurunkan tekanan intraokular serta meningkatkan aliran humor aquos (drainase) dengan efek samping yang minimal. Penangananya meliputi :
1. Medikamentosa
• Β blockers (misalnya timolol, levabunolol, carteolol, betaxolol, dan metipranolol). Mekanismenya yaitu menurunkan tekanan intraokular dengan menurunkan sekresi dari humor aquos . Sedian berupa obat tetes mata yang dapat diberikan dua kali sehari atau sekali sehari (long acting), atau dapat dikombinasi dengan obat lain (Hamurwono, 1996).
•Prostaglandin analogues ( misalnya, latanoprost, travoprost, dan bimatoprost).
Mekanismenya yaitu menurunkan tekanan intraokular dengan melancarkan drainase dari humor aquos melalui jalur uveascleral. Dapat menurunkan tekanan intraocular hingga 30-35% ( Ilyas,2004 ).
• Sympathomimetic agents.
Adrenaline topikal, kini jarang digunakan oleh karena efektivitas yang lebih rendah dibandingkan β blockers dan efek samping obat tersebut.
• Parasympathomimetic agents (misalnya, pilocarpine).
Mekanismenya yaitu menurunkan tekanan intraokular dengan jalan memperkecil diameter pupil sehingga meningkatkan drainase/aliran humor aquos ke trabecular meshwork ( Ilyas,2004 ).
• Carbonic anyidrase inhibitors (misalnya, dorzolamide, brinzolamide, azetozolamide).
Mekanismenya yaitu menurunkan tekanan intraokular dengan jalan menurunkan produksi humor aquos ( Ilyas,2004 ).
2. Bedah
Terapi bedah digunakan hanya apabila terapi medikamentosa tidak mampu mengobati dan menghambat progresivitas galukoma. Terapi bedah tersebut antara lain ;
• Iridectomy.
Perifer iridektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan pada galukoma sudut tertutup, baik pada mata yang sakit ataupun pada mata yang sehat sebagai tindakan pencegahanm (Hamurwono, 1996).

PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, glaukoma dapat mengakibatkan kebutaan total. Apabila proses penyakit terdeteksi dini sebagian besar penyakit glaukoma dapat ditangani dengan baik (Wijana, 1993).


BAB III
KESIMPULAN

Glaucoma sekunder merupakan glaukoma yang diketahui penyebab yang menimbulkannya. Hal tersebut disebabkan oleh proses patologis intraokular yang menghambat aliran cairan mata (cedera, radang, tumor)
Penyebab utama glaukom sekunderantara lain iridosiklitis (radang intraokular), cedera tembus, lesi corpus siliar, sinekia anterior, luksasi lensa, penyakit pembuluh darah (oklusi vena sentral, rubeosis iridis diabetes dengan neovaskularisasi di dalam sudut bilik mata, perdarahan intraokular) yang bisa mengakibatkan terjadinya apa yang dinamakan glaukoma neovaskular, tumor intraocular (melanoma uvea, retinoblastoma), fibroplasias dll. Kelainan mata tersebut dapat menimbulkan meningkatnya tekanan bola mata.
Penatalaksanaan glaucoma sekunder adalah dengan mengobati dulu penyakit dasarnya. tergantung tipe glaukoma yang ditimbulkan. Tujuan utama terapi glaukoma adalah dengan menurunkan tekanan intraokular serta meningkatkan aliran humor aquos (drainase) dengan efek samping yang minimal.


Daftar Pustaka

Hamurwono et. Al., 1996. Ilmu Penyakit Mata, Airlangga University Press, Surabaya
Ilyas, Sidarta., 2004. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Miranti, A., Arjo SM., 2002. Deteksi dini glaukoma, Medisinal, Vol. III, Jakarta.
Perhimpunan dokter spesialis mata Indonesia, 2002, Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan mahasiswa kedokteran: edisi ke-2, Sagung Seto, Jakarta.
Suhardjo et. Al. 2007. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wijana, N., 1993 Ilmu Penyakit Mata, cetakan 6, Abadi Tegal, Jakarta.

Rabu, 06 Juli 2011

HEMOPTHYSIS (Batuk Darah)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batuk merupakan suatu ekspirasi yang eksplosive, merupakan mekanisme perlindungan normal untuk membersihkan tracheobronchial dari sekret dan benda asing. Batuk dapat terjadi dengan sengaja atau karena refleks. Batuk dimulai dengan inspirasi dalam diikuti dengan menutupnya glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan penutupan glotis yang menyebabkan tekanan intratoraks meningkat . Ketika glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antara saluran napas dan udara luar menghasilkan aliran udara yang cepat melewati trakea. Batuk membantu membuang mukus dan bahan-bahan asing. (1)
Saluran pernapasan dimulai dari rongga hidung sampai saluran – saluran kecil alveoli paru. Pada setiap saluran ini terdapat pembuluh darah. Umumnya penyebab terjadinya perdarahan sehingga terjadi batuk darah adalah karena robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya refleks batuk. (1)
Batuk darah adalah darah atau dahak bercampur darah yang dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah distal). batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter .biasanya penderita menahan batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah. batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan pembuluh
darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. (2)
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa. (2)
B. Tujuan Penulisan
Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui diagnosis yang tepat serta penatalaksaannya karena batuk darah masif merupakan keadaan gawat dalam bidang kedokteran yang dapat merenggut nyawa penderitanya.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah haemoptoe atau haemoptysis. (3)
Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit yang mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama. (4)

B. Etiologi
Berdasar etiologi maka dapat digolongkan :
1. Batuk darah idiopatik.
Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30- 50 tahun kebanyakan 40-60 tahun Yang berhenti spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder.
Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya
a. Oleh karena keradangan , ditandai vascularisasi arteri bronkiale > 4% (normal1%)
1) TB : batuk sedikit-sedikit , masif perdarahannya, bergumpal.
2) Bronkiektasis : campur purulen
3) Apses paru : campur purulen
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir
b. Neoplasma
1) karsinoma paru
2) adenoma
c. Lain-lain:
1) trombo emboli paru – infark paru
2) mitral stenosis
3) kelainan kongenital aliran darah paru meningkat
ASD
VSD
4) trauma dada
C. Patogenesis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah (7).
D. Gejala Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah. (3)



Tabel 1.Tabel membedakan batuk darah dengan muntah darah (8)
No Keadaan
BATUK DARAH MUNTAH DARAH
1 Prodromal Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan Darah dimuntahkan dengan rasa mual (Mual Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat disertai dengan muntah Darah dimuntahkan, dapat disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, hemosiderin, makrofag Sisa makanan

6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat penyakit dahulu (RPD) Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus pepticum, kelainan hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) /
Benzidine Test (-) Blood Test (+) /
Benzidine Test (+)

Kriteria batuk darah: (9)
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam) 2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam) 3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam). Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif: (8) 1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti. 2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung. 3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti. E. Diagnosis Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan- urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan. (2) 1. Anamnesis Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah: a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan b. Lamanya perdarahan c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik f. Hubungannya perdarahan dengan gerakan fisik, istirahat, posisi badan dan batuk g. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu (2) 2. Pemeriksaan fisik Untuk mengetahui perkiraan penyebab. a. Panas merupakan tanda adanya peradangan. b. Auskultasi : Rales - Kemungkinan menonjolkan lokasi - Ada aspirasi - Ronchi menetap , whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru d. Clubbing : bronkiektasis, neoplasma (2) 3. Pemeriksaan penunjang Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. (2) Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto toraks. (3) Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak langsung). (3) 4. Pemeriksaan bronkoskopi Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui. (2,3) Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : (2) a. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan b. Batuk darah yang berulang c. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan. F. Penatalaksanaan Tujuan pokok terapi ialah: 1. Mencegah asfiksia 2. Menghentikan perdarahan 3. Mengobati penyebab utama perdarahan Langkah-langkah: (5) 1. Pemantauan menunjang fungsi vital • Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps kardiovaskuler • Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan sejak awal • Pasien dibimbing untuk batuk yang benar 2. Mencegah obstruksi saluran napas • Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi • Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan bronkoskopi 3. Menghentikan perdarahan • Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan • Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. (2) Masalah utama dalam hemoptosis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. (2) Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah : i. Terapi konservatif Penatalaksanaan batuk darah masif di Biro Pulmologi Rumkital dr.Mintohardjo dengan cara Konservatif. Dasar-dasar pengobatanYang diberikan sebagai berikut : (6) - Mencegah penyumbatan saluran nafas. - Memperbaiki keadaan umum penderita. - Menghentikan perdarahan. - Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease). Mencegah penyumbatan saluran nafas. Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk. Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal. Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perda- rahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif. (6) Memperbaiki Keadaan Umum Penderita. Bila perlu dapat dilakukan : - Pemberian oksigen. - Pemberian cairan untuk hidrasi. - Tranfusi darah. - Memperbaiki keseimbangan asam dan basa. (6) Menghentikan Perdarahan. Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus. (6) Di Biro Pulmologi RSAL Mintohardjo masih memberikan Hemostatika (Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat. (6) Mengobati penyakit-penyakit yang mendasarinya (Underlying disease). Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai. (6) ii. Terapi pembedahan Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada kontra indikasi bedah. (12) Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan: (4) - Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien. - Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi. - Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah. G. Komplikasi Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor : (13) 1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan. 2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat menimbulkan renjatan hipovolemik. 3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan : (3) 1. Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam). 2. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah terhisap ke bagian paru yang sehat. 3. Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan terjadi atelektasis. 4. Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan terjadi dalam waktu lama. H. Prognosis Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : (2) 1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik. 2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe. 3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita. hemopthoe<200ml/24jam®supportifve baik - profuse massive >600cc/24jam®prognose jelek 85% meninggal
* dengan bilateral far advance
* faal paru kurang baik
* terdapat kelainan jantung









BAB III
KESIMPULAN

1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2. Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal.
3. Pada umumnya hemoptosis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
4. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan
5. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
6. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
7. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.






DAFTAR PUSTAKA


1. Wihastuti R, Maria, Situmeang T, Yunus F. 1999. Profil penderita batuk darah yang berobat ke bagian paru RSUP Persahabatan Jakarta. Journal Respir Indo 19 : 54-9
2. Nugroho, A. 2002. Hemoptisis masif. . Kesehatan Milik Semua : Pusat Informasi Penyakit dan Kesehatan . Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan. www.infopenyakit.com
3. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. pp. 301-5
4. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d805736c.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2011.
5. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2000; 28(5):1642-7
6. Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006. hal.220-1
7. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2000. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis. Respiration 67:412-6
8. Amirullah, R. 2004. Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi RSMTH. Cermin Dunia Kedokteran No.33 : 30-32
9. PAPDI. 2006. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Minggu, 05 Juni 2011

Manifestasi Anemia Aplastik pada Rongga Mulut Anak Dan Penatalaksanaannya

BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan situasi atau keadaan dimana jumlah sel darah merah dan atau konsentrasi hemoglobin berkurang dibawah noramal.
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya defenisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959. Gejala klinik dari anemia aplastik dapat termanifestasi menjadi beberapa tanda sesuai dengan etiologi yang mendasarinya seperti anemia, leucopenia, dan trombositopenia. Salah satunya dapat menyebabkan terjadinya peradangan (ulserasi) pada mukosa mulut, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya (Mugiyanti, 2007).
Stomatitis merupakan peradangan pada bagian mucosa mulut yang bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi seperti trauma, defisiensi nutrisi, alergi, gangguan imunitas, dan manifestasi dari penyakit sistemik di mulut.
TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang manifestasi anemia aplastik pada kelainan mulut pada anak-anak.
2. Mengetahui penatalaksanan dari kelainan mulut yang disebabkan karena anemia aplastik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia Aplastik

DEFINISI
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.

EPIDEMIOLOGI
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju: 3 – 6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di Timur jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di negara Barat. Di negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidennya 2 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan di negara Barat, insiden anemia aplastik di dapat di eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita, faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang peranan penting (Mugiyanti, 2007).

ETIOLOGI
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik Primer
1. Kelainan Kongenital :
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti microcephali, strabismus, anomaly jari, kelaianan ginjal dan sebaliknya.
2. Idiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan Sekunder
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
b. Akibat idiosinkratik
c. Karena penyebab lain:
Infeksi Virus: Epstein-Barr virus (EBV)
Akibat kehamilan (Hasan, 2007)

KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat Risiko morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%: infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplasik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagai besar tidak membutuhkan terapi (Mugiyanti, 2007).

GEJALA KLINIK
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia . gejala ini dapat berupa :
a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.
b. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahn kulit seperti petekie dan akimosis. Perdarahan organ dalam lebih jarang di jumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
c. Tanda-tanda infeksi dapat berupa febris, ulserasi mulut (stomatitis) atau syok septic (Hasan, 2007).

PEMERIKSAAN FISIS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis (Mugiyanti, 2007).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi. Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom nomositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritorsit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Laju endap darah. Selalu meningkat, bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
Sum-sum tulang. Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering di perlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sum-sum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik.
DIAGNOSIS
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sum-sum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut:
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30% ,
b. trombosit kurang dari 50x10 /L
c. leukosit kurang dari 3,5x10 /L, atau netrofil kurang dari 1,5 x 109/L
2. Dengan retikulosit < 30xl09/L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

PENATALAKSANAAN
a. Mengobati masalah yang berbahaya dulu seperti perdarahan, infeksi, gagal jantung konjesti
b. Transplantasi sumsum dengan donor HLA-identik (sibling) kalau kasus anemia aplastik berat sekali.
c. Rx imunosupresif: anti-thymocyte globulin (ATG), cyclosporine, kortikosteroid, steroid androgenik, growth factors
d. Siaga untuk kemungkinan kecil pasien aplastik kemudian menderita leukemia(Hasan, 2007).
Stomatitis
DEFINISI
Stomatitis adalah peradangan pada mukosa (lapisan lendir) mulut yang bisa mengenai mukosa pipi, bibir dan langit-langit. Stomatitis merupakan infeksi yang dapat terjadi secara tersendiri atau bisa merupakan bagian dari penyakit sistemik. Dapat berupa radang yang terjadi di daerah mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan dengan permukaan yang agak cekung, bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun kelompok (Sasanti, 2009)
JENISNYA SECARA KLINIS
Secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:
1. Stomatitis aphtosa minor
Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang ditandai oleh luka (ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulserasi ini cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari tanpa meninggal bekas (Nurhayati, 2010)
2. Stomatitis aphtosa major
sebagian kecil dari pasien yang terjangkit stomatitis aphtosa jenis ini. Namun jenis stomatitis aphtosa pada jenis ini lebih hebat daripada stomatitis jenis minor. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, dan berlangsung selama 4minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.
Stomatitis aphtosa major ini meninggalkan bekas, bekas pernah adanya ulser seringkali dapat dilihat penderita; jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi (Nurhyati, 2010).
3. Ulserasi herpetiformis (HU)
Istilah ’herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes initidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi aphtosa (Nurhayati, 2010).
GEJALA
Gejalanya berupa rasa panas atau terbakar yang terjadi satu atau dua hari yang kemudian bisa menimbulkan luka (ulser) di rongga mulut. Bercak luka yang ditimbulkan akibat dari sariawan ini agak kaku dan sangat peka terhadap gerakan lidah atau mulut sehingga rasa sakit atau rasa panas yang dirasakan ini dapat membuat kita susah makan, susah minum, ataupun susah berbicara (Sasanti, 2009).
Penderita penyakit ini biasanya juga banyak mengeluarkan air liur. Biasanya sariawan ini akan sembuh dengan sendirinya adalam waktu empat sampai 20 hari. Bila penyakit ini belum sembuh sampai waktu 20 hari maka penderita harus diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ada sel kankernya atau tidak. Pada stomatitis aphtosa yang berat, dapat digunakan suatu alat pelindung mulut yang bersih dengan pengolesan anestetik lokal dibawah alat tersebut (Widjaya, 2010).
DAERAH YANG TERINFEKSI
Biasanya daerah yang paling sering timbul stomatitis aphtosa (sariawan) ini pada daerah mukosa pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta langit-langit dalam rongga mulut.
PATOFISIOLOGI
pada anemia aplastik dapat terjadi leucopenia atau menurunnya jumlah sel darah putih (leucosit) kurang dari 4500-10.000/mm3 penurunan sel darah putih ini akan menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi. Respon inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunana system imunitas fisis meksnik dimana dapat menyerang pada selaput lender, kulit, silia, saluran nafas sehingga bila selaput lendirnya yang terkena maka akan mengakibatkan stomatitis yang berupa ulserasi dan nyeri pada mulut serta faring, sehingga mengalami kesulitan dalam menelan dan menyebabkan penurunan masukan diet dalam tubuh (Widjaya, 2010).
Selain itu juga dapat terjadi trombositopenia, dimana jumlah trombosit dibawah 100.000/mm3 . akibat dari trombositopenia antara lain ekimosis, ptecie, epistaksis, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan syaraf dan perdarahan saluran cerna. Gejla dari perdarahan saluran cerna adalah anoreksia, nausea, konstipasi, atau diare dan stomatitis (sariawan pada lidah dan mulut) perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan hematemesis melena. Perdarahan akibat trombositopenia mengakibatkan aliran darah ke jaringan menurun (Widjaya, 2010).

PENATALAKSANAAN
Dalam mengatasi sariawan ini, dapat menggunakan beberapa jenis obat, baik dalam bentuk salep (yang mengandung antibiotika dan penghilang rasa sakit), obat tetes, maupun obat kumur. Jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal di masyarakat dan bisa membantu meredakan keluhan akibat sariawan. Ada jenis obat berbentuk salep dengan kandungan kortikosteroid yang dioleskan pada luka sariawan. Ada juga obat tetes yang digunakan untuk meredakan sariawan ini dengan gentien violet, perak nitrat, atau obat kumur yang dapat membantu mengurangi rasa sakit pada penderita sariawan. Dan juga pemberian vitamin C atau zat besi dalam dosis tinggi pada penderita sariawan yang kekurangan zat-zat tersebut sering dapat menolong. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin, akan lebih baik bila diperoleh dari sayuran dan buah-buahan yang merupakan vitamin natural. Mengonsumsi vitamin natural lebih efetif dibandingkan dengan mengonsumsi suplemen. Bila dikonsumsi berlebihan tidak akan merusak tubuh, karena kelebihannya akan dikeluarkan oleh tubuh. Selain itu juga lebih mudah diserap oleh tubuh. Dan jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
Pada stomatitis juga dapat ditatalaksana dengan menggunakan obat kortikosteroid, Kortikosteroid dianggap mendesak pengaruh-pengaruh anti-inflamatorinya yang kuat melalui penghambatan pelepasan fosfolipase A2, sebuah enzim yang bertanggungjawab untuk pembentukan prostaglandin, leukotriene, dan turunan yang lain dari jalur asam arachidonik. Kortikosteroid juga menghambat faktor-faktor transkripsi, seperti protein aktivator 1 dan faktor nuklear KB, yang terlibat dalam aktivasi gen-gen pro-inflammatory. Gen-gen telah diketahui diupregulasi oleh kortikosteroid-kortikosteroid dan gen-gen tersebut berperan dalam resolusi inflamasi termasuk lipocortin dan p11/protein yang mengikat calpactin, yang keduanya terlibat dalam pelepasan asam arachidonik. Lipocortin I menghambat fosfolipase A2, yang mengurangi pelepasan asam arachidonik dari fosfolipid. Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan interleukin 1α (IL-1α), sebuah sitokin pro-inflamatori yang penting, yang berasal dari keratinosit. Mekanisme-mekanisme lainnya yang diusulkan untuk pengaruh-pengaruh anti-inflamatori dari kortikosteroid termasuk penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran lisosom pada sel-sel fagosit.
Sebagian besar keefektifan kortikosteroid juga disebabkan oleh kemampuan imunosuppresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh faktor humoral yang terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi leukosit menuju ke bagian inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel, granulosit, sel-sel mast, dan fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam menangani anemia aplastik sekaligus menangani stomatitisnya.
PENCEGAHAN
Dengan mengetahui penyebabnya, kita diharapkan dapat menghindari terjadinya stomatitis aphtosa (sariawan) ini, diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama pada makanan yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Selain itu, anda juga dianjurkan untuk menghindari stress. Namun bila sariawan selalu hilang timbul, anda dapat mencoba dengan kumur-kumur air garam hangat dan berkonsultasi dengan dokter gigi dengan meminta obat yang tepat sariawannya.
Ada beberapa usaha lain yang dilakukan untuk mencegah munculnya sariawan. Misalnya, menjaga kesehatan umum terutama kesehatan pada mulut, menghindari luka pada mulut saat menggosok gigi atau saat menggigit makanan, menghindari pasta gigi yang merangsang, menghindari kondisi stress, menghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin, sering mengkonsumsi buah dan sayuran, terutama vitamin B, vitamin C, dan zat besi; serta menghindari makanan dan obat-obatan atau zat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada rongga mulut (Hasan, 2007).








BAB III
KESIMPULAN


Anemia aplastik merupaka keadaan yang disebabkan bekurangnya sel hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Dan dari pemeriksaan berupa anemia, leukopeni, dan trombositopeni dapat termanifestasikan menjadi beberapa gejala klinis, yang salah satunya dapat memicu terjadinya ulcuserasi pada mucosa mulut atau biasa disebut dengan stomatitis apthosa.
Penatalksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplstik dapat dilakukan dengan Menggunakan antibiotic dan obat penghilang rasa sakit yang berupa obat tetes maupun kumur. Selain itu juga perlu didukung dengan memperbaiki causa penyebabnya. Serta diharapkan kebersihan mulut dapat terpelihara dengan baik, yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya stomatitis pada anemia aplastik. Asupan nutrisi yang adekuat juga diperlukan dalam usaha pemulihannya.
Pada penatalaksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplastik dapat menggunakan obat kortikosteroid, yang dapat bermanfaat sekaligus bagi keduanya. Dimana kortikosteroid memiliki efek sebagai kemampuan imunosuppresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh faktor humoral yang terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi leukosit menuju ke bagian inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel, granulosit, sel-sel mast, dan fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam menangani anemia aplastik sekaligus menangani stomatitisnya.




DAFTAR PUSTAKA


Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11, Infomedika: Jakarta.

Nurhayati Desiana, 2011, Stomatitis pada anak, word press, rubric bunda magazine.

Sasanti Harum, 2009, Stomatitis yang sering dijumpai di klinik, staf pengajar FKG UI, Jakarta.

Mugiyanti, 2007, cermin dunia kedokteran: anemia aplastik, word press: Jakarta.

Widjaya agustinus,2010, Peyakit Anemia Aplastik merupakan penyakit defisit darah, Menyebabkan Pendarahan dan Rentan terhadap Infeksi, www.emedicine.com

Senin, 23 Mei 2011

DIARE CAIR AKUT

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Diare secara epidemiologik biasanya didefinisiskan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Namun para orangtua mungkin menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menggambarkannya, tergantung pada apakah konsistensi tinjanya lebih lunak, cair, berdarah, atau berlendir, atau adanya muntah. Sangat penting untuk mengetahui istilah ini apabila menanyakan apakah anak menderita diare. Bayi yang mendapatkan ASI penuh biasanya mengeluarkan tinja beberapa kali tinja yang lunak atau agak cair setiap hari. Untuk hal tersebut, lebih praktis mendefinisikan diare sebagai meningkatnya frekuensi tinja atau konsistensinya menjadi lebih lunak sehingga dianggap abnormal oleh ibunya (biasanya lunak, ini jadi lebih lunak lagi).
Diare cair akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu. Penyebab terbanyak diare pada usia 0-2 tahun adalah infeksi rotavirus.
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang, dengan perkiraan 3,2 juta kematian tiap tahun pada balita. Secara keseluruhan anak-anak ini mengalami rata-rata 3,3 episod diare per tahun, tetapi di beberapa tempat dapat lebih dari 9 episod per tahun. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya.
Diare adalah penyebab penting kekurangan gizi. Ini disebabkan karena adanya kehilangan selera makan pada penderita diare sehingga dia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan sari makanannya meningkat akibat dari infeksi.
Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi, mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan oral karena infeksi.

TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang diare cair akut
2. Mengetahui cara mendiagnosis dan mengetahui macam-macam diare cair akut
3. Mengetahui penatalaksanan dari diare cair akut




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari), dengan pengeluaran tinja yang lunak / cair yang sering dan tanpa darah. Mungkin disertai muntah dan panas. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan kurang dapat mengakibatkan kurang gizi. Kematian yang terjadi disebabkan karena dehidrasi. Penyebab terpenting diare pada anak-anak adalah Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium, Vibrio cholera, Salmonella, E. coli, rotavirus (Behrman, 2009).

EPIDEMOLOGI

Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain makanan dan minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung dengan tinja penderita.
Terdapat beberapa perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya diare yaitu tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu yang tercemar, menyimpan makanan masak pada suhu kamar dalam waktu cukup lama, menggunakan air minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan setelah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum memasak makanan, tidak membuang tinja secara benar (Ardhani, 2008).
Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare antara lain tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi / imunosupressif.
Umur Kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, insiden paling banyak pada umur 6 – 10 bulan (pada masa pemberian makanan pendamping).
Variasi musiman pola musim diare dapat terjadi melalui letak geografi. Pada daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas sedangkan diare karena virus (rotavirus) puncaknya pada musim dingin. Pada daerah tropik diare rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare karena bakteri adalah pada musim hujan.
Kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik / tanpa gejala dan proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukan imunitas aktif.

ETIOLOGI
Terdapat beberapa macam penyebab diare antara lain sebagai berikut
1. Faktor infeksi
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare seperti otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. (Behrman, 2009).
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat yaitu disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).

Gambar 1. Bagan Penyebab penyakit diare
PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare yaitu:
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare (Poorwo, 2003).
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.
3.Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare (Poorwo, 2003).
MANIFESTASI KLINIS
Pada Diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut
1. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekwensi lebih dari 3kali sehari
2. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
3. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
4. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. Jangan lupa menimbang berat badan.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria sebagai berikut:
a. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan < 5% berat badan): 1) Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan 2) Keadaan umum baik, sadar 3) Tanda vital dalam batas normal 4) Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mucosa mulut dan bibir basah 5) Turgor abdomen baik, bising usus normal 6) Akral hangat. Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare frekuen) (Ardhani, 2008). b. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan) 1) Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda tambahan 2) Keadaan umum gelisah atau cengang 3) Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mucosa mulut dan bibir sedikit kering 4) Turgor kurang 5) Akral hangat Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008). c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
1) Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau lebih tanda tambahan
2) Keadaan umum lemah, letargi atau koma
3) Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mucosa mulut dan bibir sangat kering
4) Anak malas minum atau tidak bisa minum
5) Turgor kulit buruk
6) Akral dingin.
Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008).
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik. (Behrman, 2009).
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tinja
1. Dapat disertai darah atau lendir
2. PH asam/basa
3. Leukosit > 5/LBP
4. Biakan dan test sensitivitas untuk etiologi bakteri/ terapi
5. ELISA (bila memungkinkan, untuk etiologi viruz) (Poorwo, 2003).

Darah
1. Dapat terjadi gangguan elektrolit atau gangguan asam bassa
2. Analisa gas darah (Poorwo, 2003).
PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE CAIR AKUT
Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru kemudian menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:
1. Rehidrasi
2. Dukungan nutrisi
3. Supplement zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
1. Diare cair akut tanpa dehidrasi
Penanganan lini pertama pada diare cair akut tanpa dehidrasi antara lain sebagai berikut:
a. Memberikan kepada anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi. Dapat kita gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti oralit, makanan cair (seperti sup dan air tajin) dan bila tidak ada air matang, kita dapat menggunakan larutan oralit untuk anak. Pemberian larutan diberikan terus semau naak hingga diare berhenti. Volume cairan untuk usia kurang dari 1th : 50-100cc, untuk usia 1-5 tahun mendapat 100-200cc, untuk usia lebih dari 5 tahun dapat diberikan semaunya.
b. Memberikan tablet zinc. Pemberian tablet zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Dosis zinc untuk anak bervariasi, untuk anak usia dibawah 6 bulan sebesar 10mg (1/2 tablet) perhari, sedangkan untuk usia diatas 6 bulan sebesar 20 mg perhari. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah sembuh dari diare.
c. Memberikan anak makanan untuk mencegah kekurangan gizi.
d. Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut buang air besar cair lebih sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, dan tinja berdarah.
e. Anak harus diberi oralit dirumah
Formula oralit baru yangberasal dari WHO dengan komposisi sevagai berikut:
Natrium : 75 mmol/L
Klorida : 65 mmol/L
Glukosa, anhydrous : 75 mmol/L
Kalium :20 mmol/L
Sitrat :10 mmol/L
Total osmolaritas :245 mmol/L
Ketentuan pemberian oralit formula baru :
Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru, larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 L air matang, untuk persediaan 24 jam, berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan ketentuan untuk anak usia kurang dari 2tahun berikan 50-100 ml setiap kali buang air besar, sedangkan untuk ubtuk anak berumur 2 tahun atau lebih berikan 100-200 ml tiap kali buang air besar. Jika dalam waktu 24jam persediaan oralit masih tersisa, maka sisa larutan itu harus dibuang.
2. Diare cair akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75cc/kgBB dalam 3 jam pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar.
3. Diare Cair akut dengan Dehidrasi Berat
Anak-anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat dapat meninggal dengan cepat karena syok hipovolemik, sehingga mereka harus mendapatkan penanganan dengan cepat.
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi. Ada beberapa hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:
a. Menentukan cara pemberian cairan
Penggantian cairan melalui intravena merupakan pengobatan pilihan untuk dehidrasi berat, karena cara tersebut merupakan jalan tercepat untuk memulihkan volume darah yang turun. Rehidrasi IV penting terutama apabila ada tanda-tanda syok hipovolemik (nadi sangat cepat dan lemah atau tidak teraba, kaki tangan dingin dan basah, keadaan sangat lemas atau tidak sadar). Cara lain pemberian cairan pengganti hanya boleh bila rehidrasi IV tidak memungkinkan atau tidak dapat ditemukan disekitarnya dalam waktu 30 menit.
b. Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.
b. Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Jika memungkinkan, penderita sebaiknya ditimbang sehingga kebutuhan cairannya dapat diukur dengan tepat. Kehilangan cairan pada dehidrasi berat setara dengan 10% berat badan (100 ml/kg).
Bayi harus diberi cairan 30 ml/kg BB pada 1 jam pertama, diikuti 70ml/kg BB 5 jam berikutnya, jadi seluruhnya 100 ml/kgBB selama 6 jam. Anak yang lebih besar dan dewasa harus diberi 30 ml/kgBB pada 30 menit pertama, diikuti 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya sehingga seluruhnya 100 ml/kgBB selama 3 jam. Sangat berguna memberi tanda pada botol, untuk menunjukan jumlah cairan yang harus diberikan setiap jam bagi setiap penderita.
Sesudah 30 ml/kg cairan pertama diberikan , nadi radialis yang kuat dapat teraba. Bila masih lemah dan cepat, infuse 30 ml/kg harus diberikan lagi dalam waktu yang sama. Meskipun begitu hal ini jarang dibutuhkan. Larutan oralit dalam jumlah kecil harus juga diberikan melalui mulut (sekitar 5ml/kg BB per jam) segera setelah penderita dapat minum, untuk member tambahan kalium dan basa, Hal ini biasa dilakukan setelah 3-4 jam untuk bayi dan 1-2 jam untuk penderita yang lebih besar.

d. Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan meliputi oral dan intravena. Larutan oralit dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk mempertahankan hidrasi.
2.Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap (Hasan, 2007)
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring (Hasan, 2007)
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
a. Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
b. Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah


3.Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi. (Pusponegoro, 2004).
4. Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
a. Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
b. V. parahaemolyticus,E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
c. A. aureus : Kloramfenikol
d. Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti Siprofloksasin
e. Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol
f. Helicobacter: Eritromisin
g. Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
h. Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
i. Balantidiasis: Tetrasiklin
j. Candidiasis: Mycostatin
k. Virus: simtomatik dan support (Hasan, 2007)



BAB III
KESIMPULAN

Diare seringkali muncul karena berbagai penyebab, termasuk diantaranya infeksi, malabsorpsi, makanan dan psikologis. Karena berbagai panyebab inilah maka akan timbul berbagai mekanisme yang akan menyebabkan diare. Penanganan diare sangat penting agar tidak terjadi komplikasi yang serius, dimana penangan yang utama adalah penggantian terapi cairan diikuti dengan medikamentosa untuk mengobati penyebabnya
Pada prinsipnya dalam penanganan medikameentosa tidak boleh diberikan obat anti diare, penggunaan antibiotikpun harus sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan adalah kotrimoksazol, amoxicilin dan atau sesuai dengan hasil uji sensitivitas. Dapat juga digunakan obat antiparasit seperti metronidazol.
Sedangkan pada penanganan cairan dan elektrolit pada diare cair akut dapat menggunakan beberapa jenis cairan antara lain:
Peroral: cairan rumah tangga, oralit
Parenteral: ringer laktat, ringer asetat, larutan normal salin
Pemberian volume cairan disesuakan dengan derajat dehidrasinya, pada kasus yang mengalami dehidrasi ringan kita dapat melakukan rehidrasi peroral dengan cairan rumah tangga atau ASI semau anak. Serta diberikan oralit setiap kali BAB dengan volume 50-100cc untuk usia dibawah 1th, dan 100-200cc untuk usia 1-5tahun, dan untuk usia lebih dari 5tahun dapat diberikan cairan semaunya. Sedangkan untuk diare cair akut dengan dehidrasi sedang dapat kita berikan oralit 75cc/kgBB untuk 3 jam pertama, setelah itu dilanjutkan pemberian cairan sesuai umur seperti pada dehidrasi ringan. Sedangkan untuk dehidrassi berat, kita dapat melakukan rehidrasi perenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat 100cc/kg BB. Dengan cara pemberian sebagai berikut:
• usia kurang dari 1 tahun, 30cc/kgBB dalam 1 jam pertama dilanjutkan 70cc/kgBB dalam 5 jam berikutnya.
• Lebih dari 1 tahun: 30cc/kgBB dalam ½ jam pertama dilanjutkan 70cc/kgBB dalam 2 ½ jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien sudah mau minum 5cc/kgBB selama proses rehidrasi (Pusponegoro, 2004).

Daftar Pustaka

Ardhani punky, 2008, Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka Cendekia Press: Jogjakarta
Behrman Richard et all, 2009, Nelson textbook of Pediatrics, Sanders: Phyladelpia.
Pusponegoro hardiyono et all, 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak: edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Poorwo sumarso et all, 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi & Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11, Infomedika: Jakarta.

Duchenne muscular dystrophy (DMD)

Duchenne muscular dystrophy (DMD)

BAB I
PENDAHULUAN
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer. Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kD,dan terdiri dari 3685 asam amino.
Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membrane sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al2,5 menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD.
Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot- otot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kea rah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan. ( Marjono Mahar, 2008)


BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Muscular dystrophy (MD) adalah suatu kelompok yang terdiri lebih dari 30 penyakit genetik yang ditandai dengan kelemahan progresif dan degenerasi pada otot rangka yang mengendalikan gerakan (Twee, 2009)
Beberapa bentuk dari MD muncul pada masa bayi atau anak-anak, beberapa bentuk yang lain mungkin tidak akan timbul sampai usia pertengahan atau lebih. Gangguan-gangguan ini berbeda-beda dalam nama dan distribusinya dan perluasan kelemahan otonya (ada beberapa bentuk dari MD yang juga menyerang otot jantung), onset usia, tingkat progresifitas, dan pola pewarisannya.
Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana penderitanya semua dari golongan umur kanak- kanak. Dalam 10- 12 tahun penderita tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat tidur atau di kursi roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik. ( Mardjono Mahar, 2008)
Duchenne muscular distrofi (DMD) pertama kali dideskripsikan oleh ahli saraf Perancis Guillaume Benjamin Amand Duchenne pada 1860-an distrofi otot Becker. (BMD) dinamai setelah Petrus Jerman Emil dokter Becker, yang pertama kali menggambarkan ini varian dari DMD pada 1950-an. Duchenne muscular distrofi (DMD) adalah bentuk progresif cepat distrofi otot yang terjadi terutama pada anak laki-laki.
Hal ini disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen, yang disebut gen DMD yang dapat diwariskan dalam keluarga dengan cara yang resesif X-linked. Dalam DMD, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan otot sejak usia 3 tahun.
Penyakit ini secara bertahap melemahkan kerangka otot, yang di lengan, kaki dan punggung. Pada remaja awal atau bahkan lebih awal, otot jantung dan otot pernafasan juga mungkin dapat terpengaruh , munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Diagnosis pasti dari penyakit ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan analisis DNA atau pemeriksaan distrofin. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk mampu lebih lama berjalan dan duduk (wedantho, 2007)
INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI
DMD memiliki angka insidensi 1 : 3500 pada bayi laki- laki baru lahir dan belum ada penelitian lebih lanjut mengenai epidemiologinya secara nyata. ( Wikipedia, 2010)
ETIOLOGI GENETIK
Kondisi ini diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk menyebbkan kelainan ini. Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada kariier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita(wedantho,2007)


Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat mewariskan sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar dua pertiga kasus DMD, pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin diakibatkan karena mutasi baru pada gen ini. Perempuan yang membara satu salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki tanda dan gejala terkait kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun biasanya lebih ringan dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy dan Becker's muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzyme creatine kinase. Gen dystrophin adalah gen terbanyak kedua pada mamalia(wedantho,2007).
DMD adalah bentuk tersering dari MD dan terutama menyerang anak laki-laki. Dikarenakan karena kurangnya dystrophin, suatu protein yang mempertahankan integritas otot. Onsetnya dimulai pada usia 3 dan 5 tahun dan kelainan ini memburuk dengan cepat. Kebanyakan anak laki-laki yang terkena akan kehilangan kmmampuan berjalan pada usia 12, dan selanjutnya memerlukan bantuan respirator untuk bernafas. Anak perempuan pada keluarga memiliki kemungkinan 50% mewarisi dan menurunkan gen yang rusak pada anak-anak mereka.


GEJALA
DMD dapat menyerang semua orang dari segala usia. Meskipun beberapa jenis pertama kali pada bayi atau anak-anak, yang lainnya mungki tidak akan muncul sampai usia pertengahan.
Gejala yang paling tersering adalah kelemahan otot (sering jatuh, gangguan berjalan, kelopak mata yang jartuh), kelainan rangka dan otot. Pemeriksaan neurologis seringkali menemukan hilangnya jaringan otot (wasting), kontraktur otot, pseudohypertrophy dan kelemahan. Beberapa jenis dari MD dapat timbul dengan tambahan kelainan jantung, penurunan intelektual dan kemandulan. (twee, 2009 )
Berikut gejala-gejala yang dapat ditemukan :
o Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot
o Gangguan keseimbangan
Mudah merasa lelah
Kesulitan dalam aktifitas motorik
Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul
o Sering jatuh
o Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
o Waddling Gait
o Calf Pain
deformitas jaringan ikat otot
pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.
Mengalami kesulitan belajar
o Jangkauan gerak terbatas
o Kontraktur otot ( biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat.
o Gangguan respiratori
o Ptosis
o Atrofi Gonad
o Scoliosis
o Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy atau aritmia

DIAGNOSIS
Diagnosis dari MD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan electromyography, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik.
Pemeriksaan fisik dan anamnesa yang tepat akan membantu dalam menentukan jenis dari MD. Kelompok otot tertentu berkaitan dengan jenis tertentu MD (wedantho, 2007).
Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada beberapa jenis MD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.
Tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai berikut :
• Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otot- otot di ekstremitas bawah.
• Creatin Kinase ( CPK – MM ) , dimana kadar keratin kinase pada aliran darah tinggi.
• EMG ( electromyography ) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya.
• Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21 .
• Biopsy otot ( imunohistokimia atau imunobloting ), atau bisa juga pemeriksaan genetic dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distropin
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik yang diketahui untuk MD. inaktivitas (seperti tirah baring atau bahkan duduk dalam jangka waktu lama) dapat memeprberat penyakit. Fisioterapi dan instrumentasi ortopedik (cth. Kursi roda) dapat membantu. Pembedahan ortopedi korektif mungkin diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam beberapa kasus. Masalah pada jantung yang ditemui pada Emery-Dreifuss MD dan myotonic MD mungkin memerlukan alat pacu jantung. Myotonia yang terjadi pada myotonic MD dapat diterapi dengan obat-obatan seperti phenytoin atau quinine (wedantho,2007)
Terapi fisik lebih ditujukkan agar penderita dapat memaksimalkan potensi fisik, yaitu :
• Meminimalisir perkembangan kontraktur dan deformitas dengan mengembangkan program stretching( peregangan) dan latihan yang diperlukan .
• Mencegah dan meminimalisir komplikasi sekunder lain dari kecacatannya .
• Memonitor fungsi pernafasan dengan menyarankan teknik yang dapat membantu untuk latihan pernafasan dan metode pembersihan saluran nafas .
• Penjadwalan mulai dari seminggu sampai satu bulan untuk terapi pijat untuk mengurangi nyeri yang timbul.
PROGNOSIS
Prognosis dari MD bervariasi tergantung dari jenis MD dan progresifitas penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, edngan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada Duchenne MD, kematian biuasanya terjadi pada usia belasan sampai awal 20an (wedantho,2007)



BAB III
KESIMPULAN

Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit kelainan distrofik yang diwariskan secara X-linked dan hanya mengenai laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai pembawa sifat. Biasanya penderita meninggal dalam decade ke dua akibat komplikasi infeksi paru atau payah jantung.
Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan pada usia sekitar 10 tahun. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta memberikan rasa nyaman.
Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling genetika mengenai perjalanan penyakit terhadap pasien dan
keluarganya. Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung jawab terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan immunohistokimia protein distrofin, juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan pasien dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.

Daftar Pustaka


Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.

Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com

Wedantho Sigit, 2007, Duchenne Muscular Dystrophy: Divisi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Minggu, 22 Mei 2011

HERPES ZOSTER

BAB I
PENDAHULUAN

Herpes Zoster adalah suatu penyakit yang membuat rasa sangat nyeri dan disebabkan oleh virus herpes yang juga mengakibatkan cacar air (virus varisela zoster). Seperti virus herpes yang lain, virus varisela zoster mempunyai tahapan penularan awal (cacar air) yang diikuti oleh suatu tahapan tidak aktif. Kemudian suatu saat virus ini menjadi aktif kembali.
Herpes zoster (atau hanya zoster), umum dikenal sebagai penyakit ruam saraf yang ditandai dengan ruam kulit yang menyakitkan dengan lepuh di wilayah yang terbatas pada satu sisi tubuh, sering kali dalam satu garis.
Kurang-lebih 20 persen orang yang pernah cacar air lambat laun akan berkembang menjadi herpes zoster. Keaktifan kembali virus ini kemungkinan akan terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, termasuk orang dengan penyakit HIV, dan orang di atas usia 50 tahun.
Herpes zoster hidup dalam jaringan saraf, termasuk dalam penyakit infeksi virus yang manifestasinya terbatas pada area kulit yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris. Kekambuhan herpes zoster dimulai dengan gatal, mati rasa, kesemutan atau rasa nyeri yang parah pada daerah predileksi seperti di dada, punggung, atau hidung dan mata.
Walaupun jarang, herpes zoster dapat menular pada saraf wajah dan mata.Ini dapat menyebabkan nyeri di sekitar mulut, pada wajah, leher dan juga kepala, dalam dan sekitar telinga, atau pada ujung hidung. Penyakit ini hampir selalu terjadi hanya pada satu sisi tubuh.
Setelah beberapa hari, ruam muncul pada daerah kulit yang berhubungan dengan saraf yang meradang. Lepuh kecil terbentuk, dan berisi cairan. Kemudian lepuh pecah dan berlubang. Jika lepuh digaruk, infeksi kulit dapat terjadi. Ini membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan mungkin menimbulkan bekas.
Biasanya, ruam hilang dalam beberapa minggu, tetapi kadang-kadang rasa nyeri yang parah dapat bertahan berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun. Kondisi ini disebut “neuralgia pasca herpes / neuralgia post herpetika” atau disingkat NPH

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut, yang mempunyai sifat khas yaitu vesikel- vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai dermatom (Djuanda, 2005).
Definisi lain Herpes Zoster (Shingles) adalah suatu infeksi yang menyebabkan erupsi kulit yang terasa sangat nyeri berupa lepuhan yang berisi cairan. Herpes zoster bisa terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering terjadi pada usia diatas 50 tahun (Sjamsoe, 2005 )

B. PENYEBAB DAN EPIDEMIOLOGI
Penyebabnya adalah virus Varicela Zooster yang termasuk kelompok virus sedang berukuran 140 – 200 m dan berinti DNA. Biasanya terjadi pada usia dewasa, meski kadang juga pada anak- anak. Dimana insidennya sama banyaknya pada pria dan wanita dan tidak tergantung musim.
Herpes Zoster disebabkan oleh virus varicela zoster (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA yang termasuk subfamili alfa herpes viride Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, pejamu, sifat sel tempat hidup laten diklasifikasikan sitotoksik dan 3 subfamili alfa, beta dan gama. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten di dalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik.
Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai tempat berkembang biak yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek. Virus ini Mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik deoxyperidine (thymidine) kinase yang disintesa di dalam sel yang terinfeksi.
Infeksi awal oleh virus varicella-zoster (yang bisa berupa cacar air) berakhir dengan masuknya virus ke dalam ganglia (badan saraf) pada saraf spinalis maupun saraf kranialis dan virus menetap disana dalam keadaan tidak aktif. Herpes zoster selalu terbatas pada penyebaran akar saraf yang terlibat di kulit (dermatom). Virus herpes zoster bisa tidak pernah menimbulkan gejala lagi atau bisa kembali aktif beberapa tahun kemudian. Herpes zoster tejadi jika virus kembali aktif. Kadang pengaktivan kembali virus ini terjadi jika terdapat gangguan pada sistem kekebalan akibat suatu penyakit (misalnya karena AIDS atau penyakit Hodgkin) atau obat-obatan yang mempengaruhi sistem kekebalan.
Yang sering terjadi adalah penyebab dari pengaktivan kembali virus ini tidak diketahui (Timur FJ, 2009).

C. PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi bisa di semua tempat, dan paling sering pada servikal IV dan lumbal II.
Efloresensi/ sifat- sifatnya, biasanya berupa kelompok- kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.


D. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal. Yang penting adalah temuan “sel balon” yaitu sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi ( lipscuhtz) yang tersebar dalam inti sel epidermis,dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah. Dermis mengalami dilatasi pembuluh darah dan sebukan lmfosit.


Jika menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N V cabang atas disebut herpes zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N V disebut herpes zoster oftalmik. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis atau lumbalis.

E. PATOGENESIS
Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik.
Selama proses infeksi varicella, VZV lewat dari luka di kulit dan permukaan mukosa ke akhiran saraf yang berdekatan dan ditranspor secara sentripetal ke saraf sensoris ke ganglia sensoris. Dalam ganglia, virus membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom di mana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang pertama diinervasi oleh (ophtalmic) divisi saraf trigeminal dan oleh spinal sensori ganglia dari T1 ke L2.
Walaupun virus bersifat laten, ganglia mempertahankan potensi untuk inefektivitas penuh, reaktifasi yang terjadi bersifat sporadis, jarang, dan terkait dengan imunosupresi, radiasi dari columna vertebralis, tumor, trauma lokal; manipulasi bedah tulang belakang dan sinusitis frontalis. VZV mungkin juga mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang nyata. Walaupun asimtomatik reaktivasi VZV tidak terbukti pasti, kuantitas kecil antigen virus yang dilepaskan selama reactivasi diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan kekebalan host terhadap VZV.
Ketika resistensi host jatuh di bawah tingkat kritis, virus berkembang biak dan menyebar dalam ganglion, kemudian menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan hebat, sebuah proses yang sering disertai neuralgia berat. Infeksi VZV kemudian menyebar ke saraf sensorik, beresiko neuritis hebat, dan dilepaskan di sekitar ujung akhiran saraf sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik kluster vesikula zoster.
Penyebaran infeksi ganglionic secara proksimal sepanjang radix saraf posterior menuju meninges dan corda menghasilkan leptomeningitis lokal, cairan cerebrospinal pleocytosis, dan segmental myelitis. Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang pada syaraf di bagian radix anterior dicatat untuk palsies lokal yang mungkin menyertai erupsi kutaneus, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat dapat dihasilkan pada komplikasi jarang herpes zoster (misalnya, meningoensefalitis, transverse myelitis).
F. DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks  hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes simpleks dalam embrio ayam, kelinci atau tikus.

Varisella  Biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam.


Impetigo vesikobulosa  Lebih sering pada anak- anak, dengan gambaran vesikel dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta.

G. GEJALA KLINIS
Herpes Zoster dapat dimulai dengan respon sistemik, misalnya, demam, anoreksia, dan kelelahan, yang merupakan gejala prodromal dari Herpes Zoster. Dan hal tersebut biasanya kadang tidak disadari oleh pasien ataupun klinisi sebagai gejala awal herpes zoster.
Gejala prodromal biasanya mencakup fenomena sensorik yang terjadi 1 atau lebih pada bagian kulit berlangsung 1-10 hari (rata-rata 48 jam), yang biasanya dicatat sebagai sakit atau, jarang, paresthesias.
Manifestasi dari gejala prodromal herpes zoster antara lain ialah dapat mensimulasikan sakit kepala, iritis, radang selaput dada, neuritis brakialis, sakit jantung, radang usus buntu atau penyakit intraabdominal lain, atau linu panggul, yang dapat mengakibatkan salah diagnosa. Interval gejala prodromal sebelum muncul gambaran kelainan pada kulit merupakan penyebaran partikel virus di sepanjang saraf sensorik, namun sekitar 10% dari pasien melaporkan onset nyeri dan ruam secara bersamaan.
Setelah timbul gejala prodromal, maka tanda-tanda dan gejala berikut terjadi:
o Patch eritema, kadang-kadang disertai dengan indurasi, muncul di wilayah dermatomal yang terlibat.
o Limfadenopati regional dapat muncul pada tahap ini atau selanjutnya.
o peradangan pada saraf sensorik yang terlibat menyebabkan rasa sakit yang parah.
o Muncul Vesikula awalnya jelas, tapi akhirnya, mereka awan, pecah, kerak, dan sukar.
Gejala utama herpes zoster adalah terjadinya rasa sakit yang biasanya muncul lebih dulu atau kadang muncul bersamaan dengan terjadinya ruam pada kulit, yang biasanya dapat terus berlanjut walaupun ruam yang terjadi pada kulit sudah menghilang.
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang. Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering pada orang dewasa.

Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malese), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nevus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, di samping itu juga cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pedengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.


Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang sangat singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Pada herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma malignum.
Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.

H. KOMPLIKASI

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Salah satu komplikasi yang cukup banyak terjadi adalah neuralgia pasca herpetik, dimana komplikasi ini dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, persentasinya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi persentasinya.
Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH. Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya, kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah respon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh : sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain.
Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerh kulit yang dipersarafi oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas 50% mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh penderita yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10 tahun. Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi antiviral untuk mencegah penuh NPH.
Komplikasi lain adalah yang terjadi pada mata akibat zoster ophthalmikus baik sementara atau secara permanen dapat menyebabkan penurunan ketajaman visual atau kebutaan. Komplikasi seperti infeksi sekunder dan meningeal atau keterlibatan viseral dapat menghasilkan morbiditas lebih lanjut dalam bentuk infeksi dan jaringan parut.


I. PENGOBATAN
• Bila nyeri dapat diberikan analgesia dengan NSAID, misalnya mefenamic acid 500 mg, indometasin 25 mg 3 kali sehari atau ibuprofen 400 mg 3kali sehari.
• Antibiotik bila mengalami infeksi yang merupakan penyebab utama timbulnya jaringan parut atau keloid.
• Gunakan bedak kalamin atau phenol-zinc lotion untuk fase vesikular.
• Apabila mengenai mata, konsultasikan ke klinik mata.
• Bila tersedia, gunakan asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama seminggu.atau obat antivirus lainnya (misalnya famsiklovir/valasiklovir). Diberikan pada fase awal munculnya penyakit.
• Bila mengalami Postherpetic neuralgia, dapat diberikan:
~ Fenol 3-5% dalam bentuk krim atau salap, 2-6 kali sehari
~ Amitriptilin 10-25 mg/hari pada malam hari, atau gabapentin 100- 300 mg/hari. (Sjamsoe, 2008)

BAB III
KESIMPULAN



Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka timbullah demam dan malaise.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.


Daftar Pustaka

Anonym., observer extra: Herpes Zoster. 2006. www.cdc.gov


Djuanda Adhi., 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin: edisi IV,. Jakarta : Fakultas kedokteran universitas Indonesia


Phylai Verasny., Herpes Zoster., 2009. www.wikipedia.com


Sjamsoe E.S ., medical multimedia Indonesia., 2005. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Pt-mmi@medical-e-book.com


Siregar., 2003. Atlas Beerwarna Saripati Penyakit Kulit: edisi II,. Jakarta: EGC


Stankus SJ., 2000. Management of Herpes Zoster (Singles) and Postherpatic Neuralgia. American Academy of Family of Physician


Timur FJ., Herpes Zoster., 2009. www.e-medicine.com


Wolf Clause et all., 2007., Fitzhpatrick’s color atlas and synopsys of clinical dermatology., Mc GrawHill Company