BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Diare secara epidemiologik biasanya didefinisiskan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Namun para orangtua mungkin menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menggambarkannya, tergantung pada apakah konsistensi tinjanya lebih lunak, cair, berdarah, atau berlendir, atau adanya muntah. Sangat penting untuk mengetahui istilah ini apabila menanyakan apakah anak menderita diare. Bayi yang mendapatkan ASI penuh biasanya mengeluarkan tinja beberapa kali tinja yang lunak atau agak cair setiap hari. Untuk hal tersebut, lebih praktis mendefinisikan diare sebagai meningkatnya frekuensi tinja atau konsistensinya menjadi lebih lunak sehingga dianggap abnormal oleh ibunya (biasanya lunak, ini jadi lebih lunak lagi).
Diare cair akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu. Penyebab terbanyak diare pada usia 0-2 tahun adalah infeksi rotavirus.
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang, dengan perkiraan 3,2 juta kematian tiap tahun pada balita. Secara keseluruhan anak-anak ini mengalami rata-rata 3,3 episod diare per tahun, tetapi di beberapa tempat dapat lebih dari 9 episod per tahun. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya.
Diare adalah penyebab penting kekurangan gizi. Ini disebabkan karena adanya kehilangan selera makan pada penderita diare sehingga dia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan sari makanannya meningkat akibat dari infeksi.
Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi, mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan oral karena infeksi.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang diare cair akut
2. Mengetahui cara mendiagnosis dan mengetahui macam-macam diare cair akut
3. Mengetahui penatalaksanan dari diare cair akut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari), dengan pengeluaran tinja yang lunak / cair yang sering dan tanpa darah. Mungkin disertai muntah dan panas. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan kurang dapat mengakibatkan kurang gizi. Kematian yang terjadi disebabkan karena dehidrasi. Penyebab terpenting diare pada anak-anak adalah Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium, Vibrio cholera, Salmonella, E. coli, rotavirus (Behrman, 2009).
EPIDEMOLOGI
Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain makanan dan minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung dengan tinja penderita.
Terdapat beberapa perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya diare yaitu tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu yang tercemar, menyimpan makanan masak pada suhu kamar dalam waktu cukup lama, menggunakan air minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci tangan setelah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum memasak makanan, tidak membuang tinja secara benar (Ardhani, 2008).
Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare antara lain tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi / imunosupressif.
Umur Kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan, insiden paling banyak pada umur 6 – 10 bulan (pada masa pemberian makanan pendamping).
Variasi musiman pola musim diare dapat terjadi melalui letak geografi. Pada daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas sedangkan diare karena virus (rotavirus) puncaknya pada musim dingin. Pada daerah tropik diare rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare karena bakteri adalah pada musim hujan.
Kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik / tanpa gejala dan proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukan imunitas aktif.
ETIOLOGI
Terdapat beberapa macam penyebab diare antara lain sebagai berikut
1. Faktor infeksi
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare seperti otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. (Behrman, 2009).
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat yaitu disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).
Gambar 1. Bagan Penyebab penyakit diare
PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare yaitu:
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare (Poorwo, 2003).
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.
3.Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare (Poorwo, 2003).
MANIFESTASI KLINIS
Pada Diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut
1. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekwensi lebih dari 3kali sehari
2. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
3. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
4. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. Jangan lupa menimbang berat badan.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria sebagai berikut:
a. Dehidrasi ringan (kehilangan cairan < 5% berat badan):
1) Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
2) Keadaan umum baik, sadar
3) Tanda vital dalam batas normal
4) Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mucosa mulut dan bibir basah
5) Turgor abdomen baik, bising usus normal
6) Akral hangat.
Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare frekuen) (Ardhani, 2008).
b. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
1) Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda tambahan
2) Keadaan umum gelisah atau cengang
3) Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mucosa mulut dan bibir sedikit kering
4) Turgor kurang
5) Akral hangat
Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008).
c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
1) Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau lebih tanda tambahan
2) Keadaan umum lemah, letargi atau koma
3) Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mucosa mulut dan bibir sangat kering
4) Anak malas minum atau tidak bisa minum
5) Turgor kulit buruk
6) Akral dingin.
Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008).
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh deplesi air yang isotonik. (Behrman, 2009).
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan lebih dalam (pernapasan Kussmaul)
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan gagal ginjal akut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tinja
1. Dapat disertai darah atau lendir
2. PH asam/basa
3. Leukosit > 5/LBP
4. Biakan dan test sensitivitas untuk etiologi bakteri/ terapi
5. ELISA (bila memungkinkan, untuk etiologi viruz) (Poorwo, 2003).
Darah
1. Dapat terjadi gangguan elektrolit atau gangguan asam bassa
2. Analisa gas darah (Poorwo, 2003).
PRINSIP PENATALAKSANAAN DIARE CAIR AKUT
Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru kemudian menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten.
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:
1. Rehidrasi
2. Dukungan nutrisi
3. Supplement zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
1. Diare cair akut tanpa dehidrasi
Penanganan lini pertama pada diare cair akut tanpa dehidrasi antara lain sebagai berikut:
a. Memberikan kepada anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi. Dapat kita gunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti oralit, makanan cair (seperti sup dan air tajin) dan bila tidak ada air matang, kita dapat menggunakan larutan oralit untuk anak. Pemberian larutan diberikan terus semau naak hingga diare berhenti. Volume cairan untuk usia kurang dari 1th : 50-100cc, untuk usia 1-5 tahun mendapat 100-200cc, untuk usia lebih dari 5 tahun dapat diberikan semaunya.
b. Memberikan tablet zinc. Pemberian tablet zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Dosis zinc untuk anak bervariasi, untuk anak usia dibawah 6 bulan sebesar 10mg (1/2 tablet) perhari, sedangkan untuk usia diatas 6 bulan sebesar 20 mg perhari. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah sembuh dari diare.
c. Memberikan anak makanan untuk mencegah kekurangan gizi.
d. Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut buang air besar cair lebih sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, dan tinja berdarah.
e. Anak harus diberi oralit dirumah
Formula oralit baru yangberasal dari WHO dengan komposisi sevagai berikut:
Natrium : 75 mmol/L
Klorida : 65 mmol/L
Glukosa, anhydrous : 75 mmol/L
Kalium :20 mmol/L
Sitrat :10 mmol/L
Total osmolaritas :245 mmol/L
Ketentuan pemberian oralit formula baru :
Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru, larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 L air matang, untuk persediaan 24 jam, berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan ketentuan untuk anak usia kurang dari 2tahun berikan 50-100 ml setiap kali buang air besar, sedangkan untuk ubtuk anak berumur 2 tahun atau lebih berikan 100-200 ml tiap kali buang air besar. Jika dalam waktu 24jam persediaan oralit masih tersisa, maka sisa larutan itu harus dibuang.
2. Diare cair akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75cc/kgBB dalam 3 jam pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar.
3. Diare Cair akut dengan Dehidrasi Berat
Anak-anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat dapat meninggal dengan cepat karena syok hipovolemik, sehingga mereka harus mendapatkan penanganan dengan cepat.
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi. Ada beberapa hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu:
a. Menentukan cara pemberian cairan
Penggantian cairan melalui intravena merupakan pengobatan pilihan untuk dehidrasi berat, karena cara tersebut merupakan jalan tercepat untuk memulihkan volume darah yang turun. Rehidrasi IV penting terutama apabila ada tanda-tanda syok hipovolemik (nadi sangat cepat dan lemah atau tidak teraba, kaki tangan dingin dan basah, keadaan sangat lemas atau tidak sadar). Cara lain pemberian cairan pengganti hanya boleh bila rehidrasi IV tidak memungkinkan atau tidak dapat ditemukan disekitarnya dalam waktu 30 menit.
b. Jenis cairan yang hendak digunakan.
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia dapat diberiakn NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.
b. Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Jika memungkinkan, penderita sebaiknya ditimbang sehingga kebutuhan cairannya dapat diukur dengan tepat. Kehilangan cairan pada dehidrasi berat setara dengan 10% berat badan (100 ml/kg).
Bayi harus diberi cairan 30 ml/kg BB pada 1 jam pertama, diikuti 70ml/kg BB 5 jam berikutnya, jadi seluruhnya 100 ml/kgBB selama 6 jam. Anak yang lebih besar dan dewasa harus diberi 30 ml/kgBB pada 30 menit pertama, diikuti 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya sehingga seluruhnya 100 ml/kgBB selama 3 jam. Sangat berguna memberi tanda pada botol, untuk menunjukan jumlah cairan yang harus diberikan setiap jam bagi setiap penderita.
Sesudah 30 ml/kg cairan pertama diberikan , nadi radialis yang kuat dapat teraba. Bila masih lemah dan cepat, infuse 30 ml/kg harus diberikan lagi dalam waktu yang sama. Meskipun begitu hal ini jarang dibutuhkan. Larutan oralit dalam jumlah kecil harus juga diberikan melalui mulut (sekitar 5ml/kg BB per jam) segera setelah penderita dapat minum, untuk member tambahan kalium dan basa, Hal ini biasa dilakukan setelah 3-4 jam untuk bayi dan 1-2 jam untuk penderita yang lebih besar.
d. Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan meliputi oral dan intravena. Larutan oralit dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk mempertahankan hidrasi.
2.Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan tinja lengkap (Hasan, 2007)
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan BJ plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil pemeriksaan penyaring (Hasan, 2007)
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
a. Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
b. Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-kadang darah
3.Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi. (Pusponegoro, 2004).
4. Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
a. Kolera-eltor: Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
b. V. parahaemolyticus,E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
c. A. aureus : Kloramfenikol
d. Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon seperti Siprofloksasin
e. Shigellosis: Ampisilin atau Kloramfenikol
f. Helicobacter: Eritromisin
g. Amebiasis: Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
h. Giardiasis: Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
i. Balantidiasis: Tetrasiklin
j. Candidiasis: Mycostatin
k. Virus: simtomatik dan support (Hasan, 2007)
BAB III
KESIMPULAN
Diare seringkali muncul karena berbagai penyebab, termasuk diantaranya infeksi, malabsorpsi, makanan dan psikologis. Karena berbagai panyebab inilah maka akan timbul berbagai mekanisme yang akan menyebabkan diare. Penanganan diare sangat penting agar tidak terjadi komplikasi yang serius, dimana penangan yang utama adalah penggantian terapi cairan diikuti dengan medikamentosa untuk mengobati penyebabnya
Pada prinsipnya dalam penanganan medikameentosa tidak boleh diberikan obat anti diare, penggunaan antibiotikpun harus sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan adalah kotrimoksazol, amoxicilin dan atau sesuai dengan hasil uji sensitivitas. Dapat juga digunakan obat antiparasit seperti metronidazol.
Sedangkan pada penanganan cairan dan elektrolit pada diare cair akut dapat menggunakan beberapa jenis cairan antara lain:
Peroral: cairan rumah tangga, oralit
Parenteral: ringer laktat, ringer asetat, larutan normal salin
Pemberian volume cairan disesuakan dengan derajat dehidrasinya, pada kasus yang mengalami dehidrasi ringan kita dapat melakukan rehidrasi peroral dengan cairan rumah tangga atau ASI semau anak. Serta diberikan oralit setiap kali BAB dengan volume 50-100cc untuk usia dibawah 1th, dan 100-200cc untuk usia 1-5tahun, dan untuk usia lebih dari 5tahun dapat diberikan cairan semaunya. Sedangkan untuk diare cair akut dengan dehidrasi sedang dapat kita berikan oralit 75cc/kgBB untuk 3 jam pertama, setelah itu dilanjutkan pemberian cairan sesuai umur seperti pada dehidrasi ringan. Sedangkan untuk dehidrassi berat, kita dapat melakukan rehidrasi perenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat 100cc/kg BB. Dengan cara pemberian sebagai berikut:
• usia kurang dari 1 tahun, 30cc/kgBB dalam 1 jam pertama dilanjutkan 70cc/kgBB dalam 5 jam berikutnya.
• Lebih dari 1 tahun: 30cc/kgBB dalam ½ jam pertama dilanjutkan 70cc/kgBB dalam 2 ½ jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien sudah mau minum 5cc/kgBB selama proses rehidrasi (Pusponegoro, 2004).
Daftar Pustaka
Ardhani punky, 2008, Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka Cendekia Press: Jogjakarta
Behrman Richard et all, 2009, Nelson textbook of Pediatrics, Sanders: Phyladelpia.
Pusponegoro hardiyono et all, 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak: edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Poorwo sumarso et all, 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi & Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11, Infomedika: Jakarta.
Senin, 23 Mei 2011
Duchenne muscular dystrophy (DMD)
Duchenne muscular dystrophy (DMD)
BAB I
PENDAHULUAN
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer. Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kD,dan terdiri dari 3685 asam amino.
Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membrane sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al2,5 menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD.
Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot- otot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kea rah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan. ( Marjono Mahar, 2008)
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Muscular dystrophy (MD) adalah suatu kelompok yang terdiri lebih dari 30 penyakit genetik yang ditandai dengan kelemahan progresif dan degenerasi pada otot rangka yang mengendalikan gerakan (Twee, 2009)
Beberapa bentuk dari MD muncul pada masa bayi atau anak-anak, beberapa bentuk yang lain mungkin tidak akan timbul sampai usia pertengahan atau lebih. Gangguan-gangguan ini berbeda-beda dalam nama dan distribusinya dan perluasan kelemahan otonya (ada beberapa bentuk dari MD yang juga menyerang otot jantung), onset usia, tingkat progresifitas, dan pola pewarisannya.
Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana penderitanya semua dari golongan umur kanak- kanak. Dalam 10- 12 tahun penderita tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat tidur atau di kursi roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik. ( Mardjono Mahar, 2008)
Duchenne muscular distrofi (DMD) pertama kali dideskripsikan oleh ahli saraf Perancis Guillaume Benjamin Amand Duchenne pada 1860-an distrofi otot Becker. (BMD) dinamai setelah Petrus Jerman Emil dokter Becker, yang pertama kali menggambarkan ini varian dari DMD pada 1950-an. Duchenne muscular distrofi (DMD) adalah bentuk progresif cepat distrofi otot yang terjadi terutama pada anak laki-laki.
Hal ini disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen, yang disebut gen DMD yang dapat diwariskan dalam keluarga dengan cara yang resesif X-linked. Dalam DMD, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan otot sejak usia 3 tahun.
Penyakit ini secara bertahap melemahkan kerangka otot, yang di lengan, kaki dan punggung. Pada remaja awal atau bahkan lebih awal, otot jantung dan otot pernafasan juga mungkin dapat terpengaruh , munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Diagnosis pasti dari penyakit ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan analisis DNA atau pemeriksaan distrofin. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk mampu lebih lama berjalan dan duduk (wedantho, 2007)
INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI
DMD memiliki angka insidensi 1 : 3500 pada bayi laki- laki baru lahir dan belum ada penelitian lebih lanjut mengenai epidemiologinya secara nyata. ( Wikipedia, 2010)
ETIOLOGI GENETIK
Kondisi ini diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk menyebbkan kelainan ini. Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada kariier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita(wedantho,2007)
Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat mewariskan sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar dua pertiga kasus DMD, pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin diakibatkan karena mutasi baru pada gen ini. Perempuan yang membara satu salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki tanda dan gejala terkait kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun biasanya lebih ringan dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy dan Becker's muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzyme creatine kinase. Gen dystrophin adalah gen terbanyak kedua pada mamalia(wedantho,2007).
DMD adalah bentuk tersering dari MD dan terutama menyerang anak laki-laki. Dikarenakan karena kurangnya dystrophin, suatu protein yang mempertahankan integritas otot. Onsetnya dimulai pada usia 3 dan 5 tahun dan kelainan ini memburuk dengan cepat. Kebanyakan anak laki-laki yang terkena akan kehilangan kmmampuan berjalan pada usia 12, dan selanjutnya memerlukan bantuan respirator untuk bernafas. Anak perempuan pada keluarga memiliki kemungkinan 50% mewarisi dan menurunkan gen yang rusak pada anak-anak mereka.
GEJALA
DMD dapat menyerang semua orang dari segala usia. Meskipun beberapa jenis pertama kali pada bayi atau anak-anak, yang lainnya mungki tidak akan muncul sampai usia pertengahan.
Gejala yang paling tersering adalah kelemahan otot (sering jatuh, gangguan berjalan, kelopak mata yang jartuh), kelainan rangka dan otot. Pemeriksaan neurologis seringkali menemukan hilangnya jaringan otot (wasting), kontraktur otot, pseudohypertrophy dan kelemahan. Beberapa jenis dari MD dapat timbul dengan tambahan kelainan jantung, penurunan intelektual dan kemandulan. (twee, 2009 )
Berikut gejala-gejala yang dapat ditemukan :
o Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot
o Gangguan keseimbangan
Mudah merasa lelah
Kesulitan dalam aktifitas motorik
Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul
o Sering jatuh
o Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
o Waddling Gait
o Calf Pain
deformitas jaringan ikat otot
pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.
Mengalami kesulitan belajar
o Jangkauan gerak terbatas
o Kontraktur otot ( biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat.
o Gangguan respiratori
o Ptosis
o Atrofi Gonad
o Scoliosis
o Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy atau aritmia
DIAGNOSIS
Diagnosis dari MD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan electromyography, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik.
Pemeriksaan fisik dan anamnesa yang tepat akan membantu dalam menentukan jenis dari MD. Kelompok otot tertentu berkaitan dengan jenis tertentu MD (wedantho, 2007).
Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada beberapa jenis MD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.
Tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai berikut :
• Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otot- otot di ekstremitas bawah.
• Creatin Kinase ( CPK – MM ) , dimana kadar keratin kinase pada aliran darah tinggi.
• EMG ( electromyography ) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya.
• Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21 .
• Biopsy otot ( imunohistokimia atau imunobloting ), atau bisa juga pemeriksaan genetic dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distropin
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik yang diketahui untuk MD. inaktivitas (seperti tirah baring atau bahkan duduk dalam jangka waktu lama) dapat memeprberat penyakit. Fisioterapi dan instrumentasi ortopedik (cth. Kursi roda) dapat membantu. Pembedahan ortopedi korektif mungkin diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam beberapa kasus. Masalah pada jantung yang ditemui pada Emery-Dreifuss MD dan myotonic MD mungkin memerlukan alat pacu jantung. Myotonia yang terjadi pada myotonic MD dapat diterapi dengan obat-obatan seperti phenytoin atau quinine (wedantho,2007)
Terapi fisik lebih ditujukkan agar penderita dapat memaksimalkan potensi fisik, yaitu :
• Meminimalisir perkembangan kontraktur dan deformitas dengan mengembangkan program stretching( peregangan) dan latihan yang diperlukan .
• Mencegah dan meminimalisir komplikasi sekunder lain dari kecacatannya .
• Memonitor fungsi pernafasan dengan menyarankan teknik yang dapat membantu untuk latihan pernafasan dan metode pembersihan saluran nafas .
• Penjadwalan mulai dari seminggu sampai satu bulan untuk terapi pijat untuk mengurangi nyeri yang timbul.
PROGNOSIS
Prognosis dari MD bervariasi tergantung dari jenis MD dan progresifitas penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, edngan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada Duchenne MD, kematian biuasanya terjadi pada usia belasan sampai awal 20an (wedantho,2007)
BAB III
KESIMPULAN
Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit kelainan distrofik yang diwariskan secara X-linked dan hanya mengenai laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai pembawa sifat. Biasanya penderita meninggal dalam decade ke dua akibat komplikasi infeksi paru atau payah jantung.
Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan pada usia sekitar 10 tahun. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta memberikan rasa nyaman.
Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling genetika mengenai perjalanan penyakit terhadap pasien dan
keluarganya. Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung jawab terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan immunohistokimia protein distrofin, juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan pasien dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.
Daftar Pustaka
Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.
Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
Wedantho Sigit, 2007, Duchenne Muscular Dystrophy: Divisi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.
Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer. Distrofin merupakan protein yang sangat panjang dengan berat molekul 427 kD,dan terdiri dari 3685 asam amino.
Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membrane sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. pada tahun 1884 untuk pertama kali memakai istilah dystrophia muscularis progressiva. Pada tahun 1855, Duchenne memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai atrofi muskular progresif pada anak-anak.Becker mendeskripsikan penyakit muscular dystrophy yang dapat diturunkan secara autosomal resesif, autosomal dominant atau X-linked resesif. Hoffman et al2,5 menjelaskan bahwa kelainan protein distrofin merupakan penyebab utama DMD.
Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot- otot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kea rah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan. ( Marjono Mahar, 2008)
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Muscular dystrophy (MD) adalah suatu kelompok yang terdiri lebih dari 30 penyakit genetik yang ditandai dengan kelemahan progresif dan degenerasi pada otot rangka yang mengendalikan gerakan (Twee, 2009)
Beberapa bentuk dari MD muncul pada masa bayi atau anak-anak, beberapa bentuk yang lain mungkin tidak akan timbul sampai usia pertengahan atau lebih. Gangguan-gangguan ini berbeda-beda dalam nama dan distribusinya dan perluasan kelemahan otonya (ada beberapa bentuk dari MD yang juga menyerang otot jantung), onset usia, tingkat progresifitas, dan pola pewarisannya.
Pada kelainan ini terlihat pseudohipertropi pada betis dan pantat, dimana penderitanya semua dari golongan umur kanak- kanak. Dalam 10- 12 tahun penderita tidak dapat bergerak lagi dan hidupnya terpaksa di tempat tidur atau di kursi roda. Pada tahap terminal ini seluruh otot skeletal sudah atrofik. ( Mardjono Mahar, 2008)
Duchenne muscular distrofi (DMD) pertama kali dideskripsikan oleh ahli saraf Perancis Guillaume Benjamin Amand Duchenne pada 1860-an distrofi otot Becker. (BMD) dinamai setelah Petrus Jerman Emil dokter Becker, yang pertama kali menggambarkan ini varian dari DMD pada 1950-an. Duchenne muscular distrofi (DMD) adalah bentuk progresif cepat distrofi otot yang terjadi terutama pada anak laki-laki.
Hal ini disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen, yang disebut gen DMD yang dapat diwariskan dalam keluarga dengan cara yang resesif X-linked. Dalam DMD, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan otot sejak usia 3 tahun.
Penyakit ini secara bertahap melemahkan kerangka otot, yang di lengan, kaki dan punggung. Pada remaja awal atau bahkan lebih awal, otot jantung dan otot pernafasan juga mungkin dapat terpengaruh , munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Diagnosis pasti dari penyakit ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan analisis DNA atau pemeriksaan distrofin. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk mampu lebih lama berjalan dan duduk (wedantho, 2007)
INSIDEN dan EPIDEMIOLOGI
DMD memiliki angka insidensi 1 : 3500 pada bayi laki- laki baru lahir dan belum ada penelitian lebih lanjut mengenai epidemiologinya secara nyata. ( Wikipedia, 2010)
ETIOLOGI GENETIK
Kondisi ini diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk menyebbkan kelainan ini. Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada kariier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita(wedantho,2007)
Suatu ciri khas dari pewarisan terkait X adalah ayah tidak dapat mewariskan sifat terkait X pada anak laki-laki meraka. Pada sekitar dua pertiga kasus DMD, pria yang terkena penyakit mewarisi mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen DMD. Sepertiga yang lain mungkin diakibatkan karena mutasi baru pada gen ini. Perempuan yang membara satu salinan dari satu mutasi DMD mungkin memiliki tanda dan gejala terkait kondisi ini (seperti kelemahan otot dan kramp), namun biasanya lebih ringan dari tanda dan gejala pada pria. Duchenne muscular dystrophy dan Becker's muscular dystrophy disebabkan oleh mutasi pada gen untuk protein dystrophin dan menyebabkan suatu kelebihan pada enzyme creatine kinase. Gen dystrophin adalah gen terbanyak kedua pada mamalia(wedantho,2007).
DMD adalah bentuk tersering dari MD dan terutama menyerang anak laki-laki. Dikarenakan karena kurangnya dystrophin, suatu protein yang mempertahankan integritas otot. Onsetnya dimulai pada usia 3 dan 5 tahun dan kelainan ini memburuk dengan cepat. Kebanyakan anak laki-laki yang terkena akan kehilangan kmmampuan berjalan pada usia 12, dan selanjutnya memerlukan bantuan respirator untuk bernafas. Anak perempuan pada keluarga memiliki kemungkinan 50% mewarisi dan menurunkan gen yang rusak pada anak-anak mereka.
GEJALA
DMD dapat menyerang semua orang dari segala usia. Meskipun beberapa jenis pertama kali pada bayi atau anak-anak, yang lainnya mungki tidak akan muncul sampai usia pertengahan.
Gejala yang paling tersering adalah kelemahan otot (sering jatuh, gangguan berjalan, kelopak mata yang jartuh), kelainan rangka dan otot. Pemeriksaan neurologis seringkali menemukan hilangnya jaringan otot (wasting), kontraktur otot, pseudohypertrophy dan kelemahan. Beberapa jenis dari MD dapat timbul dengan tambahan kelainan jantung, penurunan intelektual dan kemandulan. (twee, 2009 )
Berikut gejala-gejala yang dapat ditemukan :
o Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot
o Gangguan keseimbangan
Mudah merasa lelah
Kesulitan dalam aktifitas motorik
Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul
o Sering jatuh
o Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh
o Waddling Gait
o Calf Pain
deformitas jaringan ikat otot
pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak.
Mengalami kesulitan belajar
o Jangkauan gerak terbatas
o Kontraktur otot ( biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat.
o Gangguan respiratori
o Ptosis
o Atrofi Gonad
o Scoliosis
o Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy atau aritmia
DIAGNOSIS
Diagnosis dari MD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan electromyography, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik.
Pemeriksaan fisik dan anamnesa yang tepat akan membantu dalam menentukan jenis dari MD. Kelompok otot tertentu berkaitan dengan jenis tertentu MD (wedantho, 2007).
Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada beberapa jenis MD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.
Tes yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DMD adalah sebagai berikut :
• Positif Gower Sign menunjukkan banyaknya kerusakan yang lebih pada otot- otot di ekstremitas bawah.
• Creatin Kinase ( CPK – MM ) , dimana kadar keratin kinase pada aliran darah tinggi.
• EMG ( electromyography ) menunjukkan kelemahan yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan otot dibandingkan pada sel syarafnya.
• Genetic Testing, dapat menampilkan bahwa kerusakan genetik pada gen Xp21 .
• Biopsy otot ( imunohistokimia atau imunobloting ), atau bisa juga pemeriksaan genetic dengan tes darah untuk mengkonfirmasi keberadaan distropin
PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik yang diketahui untuk MD. inaktivitas (seperti tirah baring atau bahkan duduk dalam jangka waktu lama) dapat memeprberat penyakit. Fisioterapi dan instrumentasi ortopedik (cth. Kursi roda) dapat membantu. Pembedahan ortopedi korektif mungkin diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam beberapa kasus. Masalah pada jantung yang ditemui pada Emery-Dreifuss MD dan myotonic MD mungkin memerlukan alat pacu jantung. Myotonia yang terjadi pada myotonic MD dapat diterapi dengan obat-obatan seperti phenytoin atau quinine (wedantho,2007)
Terapi fisik lebih ditujukkan agar penderita dapat memaksimalkan potensi fisik, yaitu :
• Meminimalisir perkembangan kontraktur dan deformitas dengan mengembangkan program stretching( peregangan) dan latihan yang diperlukan .
• Mencegah dan meminimalisir komplikasi sekunder lain dari kecacatannya .
• Memonitor fungsi pernafasan dengan menyarankan teknik yang dapat membantu untuk latihan pernafasan dan metode pembersihan saluran nafas .
• Penjadwalan mulai dari seminggu sampai satu bulan untuk terapi pijat untuk mengurangi nyeri yang timbul.
PROGNOSIS
Prognosis dari MD bervariasi tergantung dari jenis MD dan progresifitas penyakitnya. Pada beberapa kasus dapat ringan dan memburuk sangat lambat, edngan kehidupan normal, sedangkan pada kasus yang lain mungkin memiliki pemburukan kelemahan otot yang bermakna, disabilitas fungsional dan kehilangan kemampuan berjalan. Harapan hidup dapat tergantung pada derajat pemburukan dan defisit pernapasan lanjut. Pada Duchenne MD, kematian biuasanya terjadi pada usia belasan sampai awal 20an (wedantho,2007)
BAB III
KESIMPULAN
Duchenne muscular dystrophy merupakan penyakit kelainan distrofik yang diwariskan secara X-linked dan hanya mengenai laki-laki, sementara perempuan hanya sebagai pembawa sifat. Biasanya penderita meninggal dalam decade ke dua akibat komplikasi infeksi paru atau payah jantung.
Secara klinis pasien DMD tidak mampu berjalan pada usia sekitar 10 tahun. Tindakan pembedahan dan rehabilitasi, dapat membantu pasien untuk memperlama fungsi ambulasi serta memberikan rasa nyaman.
Perlu pemberian informasi yang jelas dan konseling genetika mengenai perjalanan penyakit terhadap pasien dan
keluarganya. Diagnosis DMD dapat ditegakkan dengan analisis DNA untuk mendeteksi delesi gen yang bertanggung jawab terhadap penyandian protein distrofin. Pemeriksaan immunohistokimia protein distrofin, juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti. Penanganan pasien dengan DMD harus dilakukan secara multidisiplin.
Daftar Pustaka
Mardjono. Mahar., Shidarta Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta.
Twee Do, 2009, Muscular Dystrophy, www.e-medicine.com
Wedantho Sigit, 2007, Duchenne Muscular Dystrophy: Divisi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Minggu, 22 Mei 2011
HERPES ZOSTER
BAB I
PENDAHULUAN
Herpes Zoster adalah suatu penyakit yang membuat rasa sangat nyeri dan disebabkan oleh virus herpes yang juga mengakibatkan cacar air (virus varisela zoster). Seperti virus herpes yang lain, virus varisela zoster mempunyai tahapan penularan awal (cacar air) yang diikuti oleh suatu tahapan tidak aktif. Kemudian suatu saat virus ini menjadi aktif kembali.
Herpes zoster (atau hanya zoster), umum dikenal sebagai penyakit ruam saraf yang ditandai dengan ruam kulit yang menyakitkan dengan lepuh di wilayah yang terbatas pada satu sisi tubuh, sering kali dalam satu garis.
Kurang-lebih 20 persen orang yang pernah cacar air lambat laun akan berkembang menjadi herpes zoster. Keaktifan kembali virus ini kemungkinan akan terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, termasuk orang dengan penyakit HIV, dan orang di atas usia 50 tahun.
Herpes zoster hidup dalam jaringan saraf, termasuk dalam penyakit infeksi virus yang manifestasinya terbatas pada area kulit yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris. Kekambuhan herpes zoster dimulai dengan gatal, mati rasa, kesemutan atau rasa nyeri yang parah pada daerah predileksi seperti di dada, punggung, atau hidung dan mata.
Walaupun jarang, herpes zoster dapat menular pada saraf wajah dan mata.Ini dapat menyebabkan nyeri di sekitar mulut, pada wajah, leher dan juga kepala, dalam dan sekitar telinga, atau pada ujung hidung. Penyakit ini hampir selalu terjadi hanya pada satu sisi tubuh.
Setelah beberapa hari, ruam muncul pada daerah kulit yang berhubungan dengan saraf yang meradang. Lepuh kecil terbentuk, dan berisi cairan. Kemudian lepuh pecah dan berlubang. Jika lepuh digaruk, infeksi kulit dapat terjadi. Ini membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan mungkin menimbulkan bekas.
Biasanya, ruam hilang dalam beberapa minggu, tetapi kadang-kadang rasa nyeri yang parah dapat bertahan berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun. Kondisi ini disebut “neuralgia pasca herpes / neuralgia post herpetika” atau disingkat NPH
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut, yang mempunyai sifat khas yaitu vesikel- vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai dermatom (Djuanda, 2005).
Definisi lain Herpes Zoster (Shingles) adalah suatu infeksi yang menyebabkan erupsi kulit yang terasa sangat nyeri berupa lepuhan yang berisi cairan. Herpes zoster bisa terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering terjadi pada usia diatas 50 tahun (Sjamsoe, 2005 )
B. PENYEBAB DAN EPIDEMIOLOGI
Penyebabnya adalah virus Varicela Zooster yang termasuk kelompok virus sedang berukuran 140 – 200 m dan berinti DNA. Biasanya terjadi pada usia dewasa, meski kadang juga pada anak- anak. Dimana insidennya sama banyaknya pada pria dan wanita dan tidak tergantung musim.
Herpes Zoster disebabkan oleh virus varicela zoster (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA yang termasuk subfamili alfa herpes viride Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, pejamu, sifat sel tempat hidup laten diklasifikasikan sitotoksik dan 3 subfamili alfa, beta dan gama. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten di dalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik.
Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai tempat berkembang biak yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek. Virus ini Mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik deoxyperidine (thymidine) kinase yang disintesa di dalam sel yang terinfeksi.
Infeksi awal oleh virus varicella-zoster (yang bisa berupa cacar air) berakhir dengan masuknya virus ke dalam ganglia (badan saraf) pada saraf spinalis maupun saraf kranialis dan virus menetap disana dalam keadaan tidak aktif. Herpes zoster selalu terbatas pada penyebaran akar saraf yang terlibat di kulit (dermatom). Virus herpes zoster bisa tidak pernah menimbulkan gejala lagi atau bisa kembali aktif beberapa tahun kemudian. Herpes zoster tejadi jika virus kembali aktif. Kadang pengaktivan kembali virus ini terjadi jika terdapat gangguan pada sistem kekebalan akibat suatu penyakit (misalnya karena AIDS atau penyakit Hodgkin) atau obat-obatan yang mempengaruhi sistem kekebalan.
Yang sering terjadi adalah penyebab dari pengaktivan kembali virus ini tidak diketahui (Timur FJ, 2009).
C. PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi bisa di semua tempat, dan paling sering pada servikal IV dan lumbal II.
Efloresensi/ sifat- sifatnya, biasanya berupa kelompok- kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
D. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal. Yang penting adalah temuan “sel balon” yaitu sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi ( lipscuhtz) yang tersebar dalam inti sel epidermis,dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah. Dermis mengalami dilatasi pembuluh darah dan sebukan lmfosit.
Jika menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N V cabang atas disebut herpes zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N V disebut herpes zoster oftalmik. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis atau lumbalis.
E. PATOGENESIS
Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik.
Selama proses infeksi varicella, VZV lewat dari luka di kulit dan permukaan mukosa ke akhiran saraf yang berdekatan dan ditranspor secara sentripetal ke saraf sensoris ke ganglia sensoris. Dalam ganglia, virus membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom di mana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang pertama diinervasi oleh (ophtalmic) divisi saraf trigeminal dan oleh spinal sensori ganglia dari T1 ke L2.
Walaupun virus bersifat laten, ganglia mempertahankan potensi untuk inefektivitas penuh, reaktifasi yang terjadi bersifat sporadis, jarang, dan terkait dengan imunosupresi, radiasi dari columna vertebralis, tumor, trauma lokal; manipulasi bedah tulang belakang dan sinusitis frontalis. VZV mungkin juga mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang nyata. Walaupun asimtomatik reaktivasi VZV tidak terbukti pasti, kuantitas kecil antigen virus yang dilepaskan selama reactivasi diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan kekebalan host terhadap VZV.
Ketika resistensi host jatuh di bawah tingkat kritis, virus berkembang biak dan menyebar dalam ganglion, kemudian menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan hebat, sebuah proses yang sering disertai neuralgia berat. Infeksi VZV kemudian menyebar ke saraf sensorik, beresiko neuritis hebat, dan dilepaskan di sekitar ujung akhiran saraf sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik kluster vesikula zoster.
Penyebaran infeksi ganglionic secara proksimal sepanjang radix saraf posterior menuju meninges dan corda menghasilkan leptomeningitis lokal, cairan cerebrospinal pleocytosis, dan segmental myelitis. Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang pada syaraf di bagian radix anterior dicatat untuk palsies lokal yang mungkin menyertai erupsi kutaneus, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat dapat dihasilkan pada komplikasi jarang herpes zoster (misalnya, meningoensefalitis, transverse myelitis).
F. DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes simpleks dalam embrio ayam, kelinci atau tikus.
Varisella Biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam.
Impetigo vesikobulosa Lebih sering pada anak- anak, dengan gambaran vesikel dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta.
G. GEJALA KLINIS
Herpes Zoster dapat dimulai dengan respon sistemik, misalnya, demam, anoreksia, dan kelelahan, yang merupakan gejala prodromal dari Herpes Zoster. Dan hal tersebut biasanya kadang tidak disadari oleh pasien ataupun klinisi sebagai gejala awal herpes zoster.
Gejala prodromal biasanya mencakup fenomena sensorik yang terjadi 1 atau lebih pada bagian kulit berlangsung 1-10 hari (rata-rata 48 jam), yang biasanya dicatat sebagai sakit atau, jarang, paresthesias.
Manifestasi dari gejala prodromal herpes zoster antara lain ialah dapat mensimulasikan sakit kepala, iritis, radang selaput dada, neuritis brakialis, sakit jantung, radang usus buntu atau penyakit intraabdominal lain, atau linu panggul, yang dapat mengakibatkan salah diagnosa. Interval gejala prodromal sebelum muncul gambaran kelainan pada kulit merupakan penyebaran partikel virus di sepanjang saraf sensorik, namun sekitar 10% dari pasien melaporkan onset nyeri dan ruam secara bersamaan.
Setelah timbul gejala prodromal, maka tanda-tanda dan gejala berikut terjadi:
o Patch eritema, kadang-kadang disertai dengan indurasi, muncul di wilayah dermatomal yang terlibat.
o Limfadenopati regional dapat muncul pada tahap ini atau selanjutnya.
o peradangan pada saraf sensorik yang terlibat menyebabkan rasa sakit yang parah.
o Muncul Vesikula awalnya jelas, tapi akhirnya, mereka awan, pecah, kerak, dan sukar.
Gejala utama herpes zoster adalah terjadinya rasa sakit yang biasanya muncul lebih dulu atau kadang muncul bersamaan dengan terjadinya ruam pada kulit, yang biasanya dapat terus berlanjut walaupun ruam yang terjadi pada kulit sudah menghilang.
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang. Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering pada orang dewasa.
Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malese), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nevus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, di samping itu juga cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pedengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.
Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang sangat singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Pada herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma malignum.
Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.
H. KOMPLIKASI
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Salah satu komplikasi yang cukup banyak terjadi adalah neuralgia pasca herpetik, dimana komplikasi ini dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, persentasinya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi persentasinya.
Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH. Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya, kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah respon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh : sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain.
Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerh kulit yang dipersarafi oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas 50% mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh penderita yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10 tahun. Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi antiviral untuk mencegah penuh NPH.
Komplikasi lain adalah yang terjadi pada mata akibat zoster ophthalmikus baik sementara atau secara permanen dapat menyebabkan penurunan ketajaman visual atau kebutaan. Komplikasi seperti infeksi sekunder dan meningeal atau keterlibatan viseral dapat menghasilkan morbiditas lebih lanjut dalam bentuk infeksi dan jaringan parut.
I. PENGOBATAN
• Bila nyeri dapat diberikan analgesia dengan NSAID, misalnya mefenamic acid 500 mg, indometasin 25 mg 3 kali sehari atau ibuprofen 400 mg 3kali sehari.
• Antibiotik bila mengalami infeksi yang merupakan penyebab utama timbulnya jaringan parut atau keloid.
• Gunakan bedak kalamin atau phenol-zinc lotion untuk fase vesikular.
• Apabila mengenai mata, konsultasikan ke klinik mata.
• Bila tersedia, gunakan asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama seminggu.atau obat antivirus lainnya (misalnya famsiklovir/valasiklovir). Diberikan pada fase awal munculnya penyakit.
• Bila mengalami Postherpetic neuralgia, dapat diberikan:
~ Fenol 3-5% dalam bentuk krim atau salap, 2-6 kali sehari
~ Amitriptilin 10-25 mg/hari pada malam hari, atau gabapentin 100- 300 mg/hari. (Sjamsoe, 2008)
BAB III
KESIMPULAN
Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka timbullah demam dan malaise.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
Daftar Pustaka
Anonym., observer extra: Herpes Zoster. 2006. www.cdc.gov
Djuanda Adhi., 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin: edisi IV,. Jakarta : Fakultas kedokteran universitas Indonesia
Phylai Verasny., Herpes Zoster., 2009. www.wikipedia.com
Sjamsoe E.S ., medical multimedia Indonesia., 2005. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Pt-mmi@medical-e-book.com
Siregar., 2003. Atlas Beerwarna Saripati Penyakit Kulit: edisi II,. Jakarta: EGC
Stankus SJ., 2000. Management of Herpes Zoster (Singles) and Postherpatic Neuralgia. American Academy of Family of Physician
Timur FJ., Herpes Zoster., 2009. www.e-medicine.com
Wolf Clause et all., 2007., Fitzhpatrick’s color atlas and synopsys of clinical dermatology., Mc GrawHill Company
PENDAHULUAN
Herpes Zoster adalah suatu penyakit yang membuat rasa sangat nyeri dan disebabkan oleh virus herpes yang juga mengakibatkan cacar air (virus varisela zoster). Seperti virus herpes yang lain, virus varisela zoster mempunyai tahapan penularan awal (cacar air) yang diikuti oleh suatu tahapan tidak aktif. Kemudian suatu saat virus ini menjadi aktif kembali.
Herpes zoster (atau hanya zoster), umum dikenal sebagai penyakit ruam saraf yang ditandai dengan ruam kulit yang menyakitkan dengan lepuh di wilayah yang terbatas pada satu sisi tubuh, sering kali dalam satu garis.
Kurang-lebih 20 persen orang yang pernah cacar air lambat laun akan berkembang menjadi herpes zoster. Keaktifan kembali virus ini kemungkinan akan terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, termasuk orang dengan penyakit HIV, dan orang di atas usia 50 tahun.
Herpes zoster hidup dalam jaringan saraf, termasuk dalam penyakit infeksi virus yang manifestasinya terbatas pada area kulit yang diinervasi oleh satu ganglion sensoris. Kekambuhan herpes zoster dimulai dengan gatal, mati rasa, kesemutan atau rasa nyeri yang parah pada daerah predileksi seperti di dada, punggung, atau hidung dan mata.
Walaupun jarang, herpes zoster dapat menular pada saraf wajah dan mata.Ini dapat menyebabkan nyeri di sekitar mulut, pada wajah, leher dan juga kepala, dalam dan sekitar telinga, atau pada ujung hidung. Penyakit ini hampir selalu terjadi hanya pada satu sisi tubuh.
Setelah beberapa hari, ruam muncul pada daerah kulit yang berhubungan dengan saraf yang meradang. Lepuh kecil terbentuk, dan berisi cairan. Kemudian lepuh pecah dan berlubang. Jika lepuh digaruk, infeksi kulit dapat terjadi. Ini membutuhkan pengobatan dengan antibiotik dan mungkin menimbulkan bekas.
Biasanya, ruam hilang dalam beberapa minggu, tetapi kadang-kadang rasa nyeri yang parah dapat bertahan berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun. Kondisi ini disebut “neuralgia pasca herpes / neuralgia post herpetika” atau disingkat NPH
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Herpes zoster adalah radang kulit akut, yang mempunyai sifat khas yaitu vesikel- vesikel yang tersusun berkelompok sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai dermatom (Djuanda, 2005).
Definisi lain Herpes Zoster (Shingles) adalah suatu infeksi yang menyebabkan erupsi kulit yang terasa sangat nyeri berupa lepuhan yang berisi cairan. Herpes zoster bisa terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering terjadi pada usia diatas 50 tahun (Sjamsoe, 2005 )
B. PENYEBAB DAN EPIDEMIOLOGI
Penyebabnya adalah virus Varicela Zooster yang termasuk kelompok virus sedang berukuran 140 – 200 m dan berinti DNA. Biasanya terjadi pada usia dewasa, meski kadang juga pada anak- anak. Dimana insidennya sama banyaknya pada pria dan wanita dan tidak tergantung musim.
Herpes Zoster disebabkan oleh virus varicela zoster (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA yang termasuk subfamili alfa herpes viride Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, pejamu, sifat sel tempat hidup laten diklasifikasikan sitotoksik dan 3 subfamili alfa, beta dan gama. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler. Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk laten di dalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik.
Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai tempat berkembang biak yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek. Virus ini Mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik deoxyperidine (thymidine) kinase yang disintesa di dalam sel yang terinfeksi.
Infeksi awal oleh virus varicella-zoster (yang bisa berupa cacar air) berakhir dengan masuknya virus ke dalam ganglia (badan saraf) pada saraf spinalis maupun saraf kranialis dan virus menetap disana dalam keadaan tidak aktif. Herpes zoster selalu terbatas pada penyebaran akar saraf yang terlibat di kulit (dermatom). Virus herpes zoster bisa tidak pernah menimbulkan gejala lagi atau bisa kembali aktif beberapa tahun kemudian. Herpes zoster tejadi jika virus kembali aktif. Kadang pengaktivan kembali virus ini terjadi jika terdapat gangguan pada sistem kekebalan akibat suatu penyakit (misalnya karena AIDS atau penyakit Hodgkin) atau obat-obatan yang mempengaruhi sistem kekebalan.
Yang sering terjadi adalah penyebab dari pengaktivan kembali virus ini tidak diketahui (Timur FJ, 2009).
C. PEMERIKSAAN KULIT
Lokalisasi bisa di semua tempat, dan paling sering pada servikal IV dan lumbal II.
Efloresensi/ sifat- sifatnya, biasanya berupa kelompok- kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus.
D. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya pada stratum granulosum, kadang- kadang subepidermal. Yang penting adalah temuan “sel balon” yaitu sel stratum spinosum yang mengalami degenerasi dan membesar, juga badan inklusi ( lipscuhtz) yang tersebar dalam inti sel epidermis,dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh darah. Dermis mengalami dilatasi pembuluh darah dan sebukan lmfosit.
Jika menyerang wajah, daerah yang dipersarafi N V cabang atas disebut herpes zoster frontalis. Jika menyerang cabang oftalmikus N V disebut herpes zoster oftalmik. Jika menyerang saraf interkostal disebut herpes zoster torakalis. Jika menyerang daerah lumbal disebut herpes zoster abdominalis atau lumbalis.
E. PATOGENESIS
Virus ini berdiam di ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis. Kelainan kulit yang timbul memberikan lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Kadang-kadang virus ini juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis sehingga memberikan gejala-gejala gangguan motorik.
Selama proses infeksi varicella, VZV lewat dari luka di kulit dan permukaan mukosa ke akhiran saraf yang berdekatan dan ditranspor secara sentripetal ke saraf sensoris ke ganglia sensoris. Dalam ganglia, virus membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom di mana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang pertama diinervasi oleh (ophtalmic) divisi saraf trigeminal dan oleh spinal sensori ganglia dari T1 ke L2.
Walaupun virus bersifat laten, ganglia mempertahankan potensi untuk inefektivitas penuh, reaktifasi yang terjadi bersifat sporadis, jarang, dan terkait dengan imunosupresi, radiasi dari columna vertebralis, tumor, trauma lokal; manipulasi bedah tulang belakang dan sinusitis frontalis. VZV mungkin juga mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang nyata. Walaupun asimtomatik reaktivasi VZV tidak terbukti pasti, kuantitas kecil antigen virus yang dilepaskan selama reactivasi diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan kekebalan host terhadap VZV.
Ketika resistensi host jatuh di bawah tingkat kritis, virus berkembang biak dan menyebar dalam ganglion, kemudian menyebabkan nekrosis neuron dan peradangan hebat, sebuah proses yang sering disertai neuralgia berat. Infeksi VZV kemudian menyebar ke saraf sensorik, beresiko neuritis hebat, dan dilepaskan di sekitar ujung akhiran saraf sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik kluster vesikula zoster.
Penyebaran infeksi ganglionic secara proksimal sepanjang radix saraf posterior menuju meninges dan corda menghasilkan leptomeningitis lokal, cairan cerebrospinal pleocytosis, dan segmental myelitis. Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang pada syaraf di bagian radix anterior dicatat untuk palsies lokal yang mungkin menyertai erupsi kutaneus, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf pusat dapat dihasilkan pada komplikasi jarang herpes zoster (misalnya, meningoensefalitis, transverse myelitis).
F. DIAGNOSIS BANDING
Herpes simpleks hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes simpleks dalam embrio ayam, kelinci atau tikus.
Varisella Biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam.
Impetigo vesikobulosa Lebih sering pada anak- anak, dengan gambaran vesikel dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta.
G. GEJALA KLINIS
Herpes Zoster dapat dimulai dengan respon sistemik, misalnya, demam, anoreksia, dan kelelahan, yang merupakan gejala prodromal dari Herpes Zoster. Dan hal tersebut biasanya kadang tidak disadari oleh pasien ataupun klinisi sebagai gejala awal herpes zoster.
Gejala prodromal biasanya mencakup fenomena sensorik yang terjadi 1 atau lebih pada bagian kulit berlangsung 1-10 hari (rata-rata 48 jam), yang biasanya dicatat sebagai sakit atau, jarang, paresthesias.
Manifestasi dari gejala prodromal herpes zoster antara lain ialah dapat mensimulasikan sakit kepala, iritis, radang selaput dada, neuritis brakialis, sakit jantung, radang usus buntu atau penyakit intraabdominal lain, atau linu panggul, yang dapat mengakibatkan salah diagnosa. Interval gejala prodromal sebelum muncul gambaran kelainan pada kulit merupakan penyebaran partikel virus di sepanjang saraf sensorik, namun sekitar 10% dari pasien melaporkan onset nyeri dan ruam secara bersamaan.
Setelah timbul gejala prodromal, maka tanda-tanda dan gejala berikut terjadi:
o Patch eritema, kadang-kadang disertai dengan indurasi, muncul di wilayah dermatomal yang terlibat.
o Limfadenopati regional dapat muncul pada tahap ini atau selanjutnya.
o peradangan pada saraf sensorik yang terlibat menyebabkan rasa sakit yang parah.
o Muncul Vesikula awalnya jelas, tapi akhirnya, mereka awan, pecah, kerak, dan sukar.
Gejala utama herpes zoster adalah terjadinya rasa sakit yang biasanya muncul lebih dulu atau kadang muncul bersamaan dengan terjadinya ruam pada kulit, yang biasanya dapat terus berlanjut walaupun ruam yang terjadi pada kulit sudah menghilang.
Daerah yang paling sering terkena adalah daerah torakal, walaupun daerah-daerah lain tidak jarang. Frekuensi penyakit ini pada pria dan wanita sama, sedangkan mengenai umur lebih sering pada orang dewasa.
Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala prodromal baik sistemik (demam, pusing, malese), maupun gejala prodromal lokal (nyeri otot tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu timbul eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit yang eritematosa dan edema. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Kadang-kadang vesikel mengandung darah dan disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Dapat pula timbul infeksi sekunder sehingga menimbulkan ulkus dengan penyembuhan berupa sikatriks.
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Di samping gejala kulit dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nevus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion genikulatum).
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, di samping itu juga cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pedengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.
Herpes zoster abortif, artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang sangat singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. Pada herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang kondisi fisiknya sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma malignum.
Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang mendapat herpes zoster di atas usia 40 tahun.
H. KOMPLIKASI
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Salah satu komplikasi yang cukup banyak terjadi adalah neuralgia pasca herpetik, dimana komplikasi ini dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, persentasinya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi persentasinya.
Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH. Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya, kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah respon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh : sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain.
Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerh kulit yang dipersarafi oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas 50% mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh penderita yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10 tahun. Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi antiviral untuk mencegah penuh NPH.
Komplikasi lain adalah yang terjadi pada mata akibat zoster ophthalmikus baik sementara atau secara permanen dapat menyebabkan penurunan ketajaman visual atau kebutaan. Komplikasi seperti infeksi sekunder dan meningeal atau keterlibatan viseral dapat menghasilkan morbiditas lebih lanjut dalam bentuk infeksi dan jaringan parut.
I. PENGOBATAN
• Bila nyeri dapat diberikan analgesia dengan NSAID, misalnya mefenamic acid 500 mg, indometasin 25 mg 3 kali sehari atau ibuprofen 400 mg 3kali sehari.
• Antibiotik bila mengalami infeksi yang merupakan penyebab utama timbulnya jaringan parut atau keloid.
• Gunakan bedak kalamin atau phenol-zinc lotion untuk fase vesikular.
• Apabila mengenai mata, konsultasikan ke klinik mata.
• Bila tersedia, gunakan asiklovir 800 mg 5 kali sehari selama seminggu.atau obat antivirus lainnya (misalnya famsiklovir/valasiklovir). Diberikan pada fase awal munculnya penyakit.
• Bila mengalami Postherpetic neuralgia, dapat diberikan:
~ Fenol 3-5% dalam bentuk krim atau salap, 2-6 kali sehari
~ Amitriptilin 10-25 mg/hari pada malam hari, atau gabapentin 100- 300 mg/hari. (Sjamsoe, 2008)
BAB III
KESIMPULAN
Virus Varicella Zooster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ( viremia pertama ) kemudian berkembang biak di sel retikulo endhotellial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia ke dua) maka timbullah demam dan malaise.
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varicella dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, sedangkan bila penderita varicella sembuh atau dalam bentuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah Herpes Zoster.
Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.
Daftar Pustaka
Anonym., observer extra: Herpes Zoster. 2006. www.cdc.gov
Djuanda Adhi., 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin: edisi IV,. Jakarta : Fakultas kedokteran universitas Indonesia
Phylai Verasny., Herpes Zoster., 2009. www.wikipedia.com
Sjamsoe E.S ., medical multimedia Indonesia., 2005. Penyakit kulit yang umum di Indonesia. Pt-mmi@medical-e-book.com
Siregar., 2003. Atlas Beerwarna Saripati Penyakit Kulit: edisi II,. Jakarta: EGC
Stankus SJ., 2000. Management of Herpes Zoster (Singles) and Postherpatic Neuralgia. American Academy of Family of Physician
Timur FJ., Herpes Zoster., 2009. www.e-medicine.com
Wolf Clause et all., 2007., Fitzhpatrick’s color atlas and synopsys of clinical dermatology., Mc GrawHill Company
PRE EKLAMSI
PREEKLAMSI
BAB I
PENDAHULUAN
Hingga saat ini hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnva. Upaya pencegahan terhadap penyakit ini dengan sendirinya akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Untuk itu diperlukan bukan hanya pengetahuan mengenai patofsiologi tetapi juga cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut.
Seperti diketahui, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Salah satu penyebab utama kematian maternal adalah preeklampsia - eklampsia. Preeklampsia - eklampsia merupakan penyakit hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan, yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuri masif setelah minggu ke 20 dan jika disertai kejang disebut eklampsia. Diagnosis dini dan penanganan yang adekuat dapat mencegah kematian ibu akibat preeklampsia - eklampsia.
Pre-eklamsia kerap terjadi saat hamil, akibat tekanan darah yang tinggi dan kelebihan kadar protein dalam urin, setelah kehamilan berusia 20 minggu. Meski 'hanya' peningkatan tekanan darah, tapi dapat berakibat fatal yang memungkinkan terjadinya komplikasi pada ibu dan janin yang dikansung. Pre-eklamsi akan hilang saat melahirkan, sehingga bila pre-eklamsi terjadi di minggu-minggu akhir kehamilan, dokter akan mengambil tindakan untuk segera mengeluarkan bayi. Tapi bila pre-eklamsi terjadi di awal kehamilan, maka dokter akan berusaha memperpanjang kehamilan sampai bayi dianggap telah cukup untuk lahir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Preeklampsia - eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih merupakan sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi di Indonesia sehingga diagnosis dini preeklampsia yang merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan dengan seksama. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi, edema dan proteinuri sangat penting dalam usaha pencegahan, di samping pengendalian faktor-faktor predisposisi lain.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna ( Pangemanan, 2002)
Epidemologi
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.
Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup (pangemanan, 2002).
Etiologi
Etiologi dari preeklamsi pada awalnya dikenal sebagai toksemia, karena diperkirakan adanya racun dalam darah ibu hamil, namun sekarang teori ini telah dibantah, sehingga penyebab dari preeklamsi masih belum diketahui secara pasti. Namun dari beberapa sumber menyatakan bahwa preeklamsi dapat dipicu oleh:
• Kelainan aliran darah menunju rahim
• kerusakan pembuluh darah
• masalah dengan sistim ketahanan tubuh
• Diet atau konsumsi makanan yang salah.
Kriteria diagnosis preeklamsi
Kriteria diagnosis preeklampsia ringan :
1. Hipertensi antara 140mmHg/90mmHg atau kenaikan sis-tolik dan diastolik 30 mmHg/15mmHg.
2. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/ minggu.
3. Proteinuri 0,3 g/24 jam atau plus 1-2.
4. Oliguri.
Kriteria diagnosis preeklampsia berat
Apabila pada kehamilan lebih 20 minggu didapatkan satu atau lebih tanda berikut: .
1.Tekanan darah > 160/110 mmHg diukur dalam keadaan relaks (minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his.
2. Proteinuri > 5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguri : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma. 4. Gangguan visus dan serebral 5. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan. 6. Edema paru dan sianosis. 7. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin. 8. Adanya HELLP Syndrome (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet count) (bekti sri et all, 2008) Penanganan preeklamsi Bagi semua tenaga kesehatan, kemampuan yang perlu dimiliki pada tahap pengobatan pendahuluan ialah secepatnya dapat mendiagnosis adanya hipertensi dalam kehamilan, menentukan klasifikasinya, serta menentukan adanya penyulitpenyulit yang timbul. Tujuan pengobatan pendahuluan ialah agar penderita tidak jatuh dalam stadium yang lebih berat dan dapat segera mengatasi penyulit-penyulitnya. Tahap ini lasim disebut tahap resusitasi. Dalam memberikan pengobatan pendahuluan ini perlu diingat hal-hal yang berhubungan dengan perubahan fisiologi kehamilan normal dan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan seperti terjadinya hipovolemia, vasokontriksi dan penurunan aliran darah pada organ-organ penting. Obat-obat yang diberikan Pengobatan pendahuluan mutlak dilakukan agar tercapai stabilitas hemodinamik dan metabolik: 1. Pemasangan infus Pemasangan kanula intravena dengan diameter 16 G dimaksudkan agar dapat memberikan cairan infus dengan lancar dan sebagai sarana pemberian obat-obat intravena. Cairan infuse yang diberikan adalah dekstrose 5% setiap 1000 ml diselingi cairan ringer laktat 500 ml. 2. Obat-obat anti kejang a. MgS04 Diberikan secara intramuskuler pada preeklampsia berat, sedang pada eklampsia diberikan secara intravena. - Loading dose: 4 g MgSO4 40% dalam larutan 10 ml intravena selama 4 menit, disusul 8 g MgSO4 40% dalam larutan 25 ml intramuskuler pada bokong kiri dan kanan masing-masing 4 g. - Maintenance dose: 4 g MgSO4 tiap 6 jam secara intramuskuler; bila timbul kejang lagi, dapat diberikan tambahan 2 g MgSO4 iv selama 2 menit sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah pemberian dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kgbb/iv. Pada pemberian MgSO4 diperlukan pemantauan tanda-tanda keracunan MgSO4. Kejang ulang setelah pemberian MgSO4 hanya 1%. Magnesium sulfat menurunkan eksitabilitas neuromuskuler; walaupun dapat menembus plasenta, tidak ditemukan bukti toksisitas pada neonates dari fetus. b. Diazepam Suatu antikonvulsan yang efektif dengan jalan menekan reticular activating system dan basal ganglia tanpa menekan pusat meduler. Diazepam melewati barier plasenta dan dapat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus, hipotensi dan hipotermi hingga 36 jam setelah pemberiannya. Depresi neonatal ini hanya terjadi bila dosisnya lebih dari 30 mg pada 15 jam sebelum kelahiran. Dosis awal : 10-20 mg bolus intravena Dosis tambahan : 5-10 mg intravena jika diperlukan atau tetesan 40 mg diazepam dalarn 500 ml larutan dekstrose 5% 3. Obat-obat anti hipertensi Diberikan jika tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg. a. Klonidin Satu-satunya antihipertensi yang tersedia dalam bentuksuntikan. 1 ampul mengandung 0,15 mg/ml. Caranya : 1 ampul klonidin diencerkan dalam 10 ml larutan garam faal atau aquadest. Disuntikkan mula-mula 5 ml i.v pelan-pelan selama 5 menit; setelah 5 menit tekanan darah diukur, bila belum turn, diberikan lagi sisanya. Klonidin dapat diberikan tiap 4 jam sampai tekanan darah mencapai normal. b. Nifedipin Obat yang termasuk golongan antagonis kalsium ini dapat diberikan 10 mg sub lingual atau 3-4 kali 10 mg peroral. c. Hidralasin Vasodilator ini tergolong obat yang banyak dipakai untuk hipertensi dalam kehamilan. Ferris dan Burrow14 mengatakan bahwa penurunan vasospasme akan meningkatkan perfusi uteroplasenter. Obat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk tablet. 4. Diuretika Diuretika tidak digunakan kecuali jika didapatkan keadaan : a. edema paru b. payah jantung kongestif c. edema anasarka Yang dipakai adalah golongan furosemid. Baik tiazid maupun furosemid dapat menurunkan fungsi uteroplasenter. 5. Kardiotonika Indikasi pemberiannya ialah bila ditemukan tanda-tanda payah jantung. 6. Antipiretika Digunakan bila suhu rektal di atas 38,5°C ; dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin. 7. Antibiotika Diberikan atas indikasi 8. Anti nyeri Bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi rahim dapat diberi petidin 50-75 mg sekali saja selambatlambatnya 2 jam sebelum bayi lahir. Mengingat dalam kasus rujukan preeklampsia berat - eklampsia, pos terdepan yang sering menemukan kasus ini adalah perawat atau bidan maka para petugas tersebut wajib dan harus mampu memberikan obat-obat pendahuluan yang mutlak dilakukan sebelum transportasi. Kewenangan dokter puskesmas dalam memberikan obat-obat pendahuluan dapat didelegasikan kepada perawat maupun bidan. Bila perawat atau bidan mengetahui dengan benar syarat-syarat, indikasi dan cara pemberian obat tersebut maka kecil kemungkinan terjadinya pengaruh sangkal obat-obat tersebut. Bila penderita preeklampsia - eklampsia kejang-kejang kemudian jatuh kedalam koma, maka selain diberikan pengobatan pendahuluan, perawatan pendahuluan juga penting dalam persiapan transportasi. Perlu diingat bahwa penderita koma tidak bereaksi atau mempertahankan diri terhadap: - suhu yang ekstrim - posisi tubuh yang menimbulkan nyeri - aspirasi Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma adalah buntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh ke dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atas nya terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu tindakan pertama adalah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Cara yang sederhana dan cukup efektif adalah dengan cara head tilt-chin lift atau head tilt-neck lift yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kanul orofaringeal. Hal penting ke dua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga ancaman aspirasi bahan lambung sangat besar. Ibu hamil selalu dianggap memiliki lambung penuh, oleh sebab itu semua benda-benda yang berada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa makanan atau lendir harus diisap secara intermitten. Penderita ditidurkan dalam posisi yang stabil untuk drainase lendir. Pada penderita yang kejang tujuan pertolongan pertama ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejangkejang tersebut. Penderita diletakkan di tempat tidur yang lebar; hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak membentur benda di sekitarnya. Hindari fiksasi terlalu kuat yang justru dapat menimbulkan fraktur. Beri sudip lidah dan jangan mencoba melepas sudip lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Ruangan penderita harus cukup terang. Bila kejang-kejang reda, segera beri oksigen ( Soedarmo, 2003). Tindakan obstetric 1. Konservatif Kehamilan dipertahankan , sehingga ditunggu sampai persalinan spontan. 2. Aktif ( terminasi ) Indikasi : 1. Umur kehamilan >37 minggu
2. Terdapat kegagalan terapi konservatif medicinal
6 jam setelah pengobatan medicinal terjadi kenaikan tekanan darah
Tidak terdapat perbaiakan setelah 48 jam perawatan, dengan criteria tekanan diastolic >100 mmHg
3. Terdapat tanda-tanda gawat janin
4. Terdapat tanda-tanda IUGR
5. Terdapat HELP sindrom
Cara terminasi kehamilan
Belum dalam persalinan
1. Induksi
2. Section sesarea
• Terdapat kontraindikasi terhadap oksitosin
• Setelah 12 jam dalam induksi tidak masuk fasa aktif
• Primigravida lebih cenderung section cesaria
Sudah dalam persalinan
1. Kala 1 laten seksio cesaria
2. Kala 1 fase aktif amniotomi bila 6 jam setelah amniotomi tidak tercapai pembukaan lengkap dilakukan section cesaria
3. Kala 2 ekstraksi vacuum
Ekstraksi forsipal
BAB III
PENUTUPAN
Preeklamsi merupakan suatu syndrome yang diklasifikasikan sebagai hipertensi yang merupakan kompliksi dari kehamilan, yang biasanya muncul pada akhir kehamilan trimester kedua atau ketiga dan akan menghilang setelah janin dilahirkan. Preeklamsi ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuri yang massif. Dimana penyebab dari kelainan ini belum diketahui secara pasti namun beberapa sumber menyatakan bahwa preeklamsi ini dapat dipicu oleh Kelainan aliran darah menunju rahim, kerusakan pembuluh darah, masalah dengan sistim ketahanan tubuh, dan diet atau konsumsi makanan yang salah.
Peluang Terjadinya preeklamsi diperbesar dengan beberapa factor resiko antara lain seperti:
• Riwayat preeklamsi pada keluarga
• Kehamilan pertama
• Usia calon ibu lebih dari 35 tahun
• Obesitas
• Kehamilan kembar
• Kehamilan dengan diabetes
• Sejarah hipertensi
Preeklamsi dapat menyebabkan komplikasi pada ibu dan janin. Komplikasi yang terjadi pada Ibu dapat termanivestasi menjadi sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD).
Penanganan dari preeklmasi yang pertama adalah lakukan penanganan pada kejangnya yaitu bebaskan jalan nafas pada penderita, posisikan penderita pada keadaan cinthlit atau jawtrus, berikan 02 dengan sungkup bila perlu lakukan intubasi, kemudian posisikan penderita supaya terlindung dari trauma yang mungkin dapat terjadi ketika penderita mengalami kejang, lalu berikan obat anti kejang seperti MgSO4, kemudian berikan obat antihipertensi semisal nifedipin, kemudian observasi keadaan umum penderita, bila keadaan tidak mengalami perbaikan maka diindikasikan untuk melakukan persalinan secara cesar. Perawatan post partum dilakukan sampai dengan keadaan umum membaik yaitu dengan tetap memberikan antikonvulsan yang terus diberikan selama 24 jam post partum atau sampai kejang berhenti, terapi hipertensi tetap diteruskan apabila tekanan diastolic masih > 90 mmHg, dan tetap lakukan terus pemantauan jumlah urin.
DAFTAR PUSTAKA
Anfasa Farid et all. Standar pelayanan medik obstetri dan Ginekologi. Medicastore. 2006.
Poerwo soedarmo et all. 2003. “Cermin dunia kedokteran : kebidanan dan penyakit kandungan”. Jakarta : PT Kalbe Farma.
Subianto Teguh. Prosedur Penatalaksanaan Preeklamsi Berat, medicastore.2009.
Pangemanan w. 2002. “komplikasi akut pada preeklamsia”. Palembang : UNISRI Press.
Beki sri et all. Kadar MDA dan HSP 70 pada plasenta penderita preeklamsi. Emedicine. 2008.
BAB I
PENDAHULUAN
Hingga saat ini hipertensi dalam kehamilan masih merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnva. Upaya pencegahan terhadap penyakit ini dengan sendirinya akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Untuk itu diperlukan bukan hanya pengetahuan mengenai patofsiologi tetapi juga cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang terjadi dalam proses penyakit tersebut.
Seperti diketahui, angka kematian ibu melahirkan masih tinggi. Salah satu penyebab utama kematian maternal adalah preeklampsia - eklampsia. Preeklampsia - eklampsia merupakan penyakit hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan, yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuri masif setelah minggu ke 20 dan jika disertai kejang disebut eklampsia. Diagnosis dini dan penanganan yang adekuat dapat mencegah kematian ibu akibat preeklampsia - eklampsia.
Pre-eklamsia kerap terjadi saat hamil, akibat tekanan darah yang tinggi dan kelebihan kadar protein dalam urin, setelah kehamilan berusia 20 minggu. Meski 'hanya' peningkatan tekanan darah, tapi dapat berakibat fatal yang memungkinkan terjadinya komplikasi pada ibu dan janin yang dikansung. Pre-eklamsi akan hilang saat melahirkan, sehingga bila pre-eklamsi terjadi di minggu-minggu akhir kehamilan, dokter akan mengambil tindakan untuk segera mengeluarkan bayi. Tapi bila pre-eklamsi terjadi di awal kehamilan, maka dokter akan berusaha memperpanjang kehamilan sampai bayi dianggap telah cukup untuk lahir.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Preeklampsia - eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih merupakan sebab utama kematian ibu dan sebab kematian perinatal yang tinggi di Indonesia sehingga diagnosis dini preeklampsia yang merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan dengan seksama. Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi, edema dan proteinuri sangat penting dalam usaha pencegahan, di samping pengendalian faktor-faktor predisposisi lain.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna ( Pangemanan, 2002)
Epidemologi
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.
Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup (pangemanan, 2002).
Etiologi
Etiologi dari preeklamsi pada awalnya dikenal sebagai toksemia, karena diperkirakan adanya racun dalam darah ibu hamil, namun sekarang teori ini telah dibantah, sehingga penyebab dari preeklamsi masih belum diketahui secara pasti. Namun dari beberapa sumber menyatakan bahwa preeklamsi dapat dipicu oleh:
• Kelainan aliran darah menunju rahim
• kerusakan pembuluh darah
• masalah dengan sistim ketahanan tubuh
• Diet atau konsumsi makanan yang salah.
Kriteria diagnosis preeklamsi
Kriteria diagnosis preeklampsia ringan :
1. Hipertensi antara 140mmHg/90mmHg atau kenaikan sis-tolik dan diastolik 30 mmHg/15mmHg.
2. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/ minggu.
3. Proteinuri 0,3 g/24 jam atau plus 1-2.
4. Oliguri.
Kriteria diagnosis preeklampsia berat
Apabila pada kehamilan lebih 20 minggu didapatkan satu atau lebih tanda berikut: .
1.Tekanan darah > 160/110 mmHg diukur dalam keadaan relaks (minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his.
2. Proteinuri > 5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif.
3. Oliguri : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma. 4. Gangguan visus dan serebral 5. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan. 6. Edema paru dan sianosis. 7. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin. 8. Adanya HELLP Syndrome (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet count) (bekti sri et all, 2008) Penanganan preeklamsi Bagi semua tenaga kesehatan, kemampuan yang perlu dimiliki pada tahap pengobatan pendahuluan ialah secepatnya dapat mendiagnosis adanya hipertensi dalam kehamilan, menentukan klasifikasinya, serta menentukan adanya penyulitpenyulit yang timbul. Tujuan pengobatan pendahuluan ialah agar penderita tidak jatuh dalam stadium yang lebih berat dan dapat segera mengatasi penyulit-penyulitnya. Tahap ini lasim disebut tahap resusitasi. Dalam memberikan pengobatan pendahuluan ini perlu diingat hal-hal yang berhubungan dengan perubahan fisiologi kehamilan normal dan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan seperti terjadinya hipovolemia, vasokontriksi dan penurunan aliran darah pada organ-organ penting. Obat-obat yang diberikan Pengobatan pendahuluan mutlak dilakukan agar tercapai stabilitas hemodinamik dan metabolik: 1. Pemasangan infus Pemasangan kanula intravena dengan diameter 16 G dimaksudkan agar dapat memberikan cairan infus dengan lancar dan sebagai sarana pemberian obat-obat intravena. Cairan infuse yang diberikan adalah dekstrose 5% setiap 1000 ml diselingi cairan ringer laktat 500 ml. 2. Obat-obat anti kejang a. MgS04 Diberikan secara intramuskuler pada preeklampsia berat, sedang pada eklampsia diberikan secara intravena. - Loading dose: 4 g MgSO4 40% dalam larutan 10 ml intravena selama 4 menit, disusul 8 g MgSO4 40% dalam larutan 25 ml intramuskuler pada bokong kiri dan kanan masing-masing 4 g. - Maintenance dose: 4 g MgSO4 tiap 6 jam secara intramuskuler; bila timbul kejang lagi, dapat diberikan tambahan 2 g MgSO4 iv selama 2 menit sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah pemberian dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan amobarbital 3-5 mg/kgbb/iv. Pada pemberian MgSO4 diperlukan pemantauan tanda-tanda keracunan MgSO4. Kejang ulang setelah pemberian MgSO4 hanya 1%. Magnesium sulfat menurunkan eksitabilitas neuromuskuler; walaupun dapat menembus plasenta, tidak ditemukan bukti toksisitas pada neonates dari fetus. b. Diazepam Suatu antikonvulsan yang efektif dengan jalan menekan reticular activating system dan basal ganglia tanpa menekan pusat meduler. Diazepam melewati barier plasenta dan dapat menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus, hipotensi dan hipotermi hingga 36 jam setelah pemberiannya. Depresi neonatal ini hanya terjadi bila dosisnya lebih dari 30 mg pada 15 jam sebelum kelahiran. Dosis awal : 10-20 mg bolus intravena Dosis tambahan : 5-10 mg intravena jika diperlukan atau tetesan 40 mg diazepam dalarn 500 ml larutan dekstrose 5% 3. Obat-obat anti hipertensi Diberikan jika tekanan darah sistolik 160 mmHg atau tekanan darah diastolik 110 mmHg. a. Klonidin Satu-satunya antihipertensi yang tersedia dalam bentuksuntikan. 1 ampul mengandung 0,15 mg/ml. Caranya : 1 ampul klonidin diencerkan dalam 10 ml larutan garam faal atau aquadest. Disuntikkan mula-mula 5 ml i.v pelan-pelan selama 5 menit; setelah 5 menit tekanan darah diukur, bila belum turn, diberikan lagi sisanya. Klonidin dapat diberikan tiap 4 jam sampai tekanan darah mencapai normal. b. Nifedipin Obat yang termasuk golongan antagonis kalsium ini dapat diberikan 10 mg sub lingual atau 3-4 kali 10 mg peroral. c. Hidralasin Vasodilator ini tergolong obat yang banyak dipakai untuk hipertensi dalam kehamilan. Ferris dan Burrow14 mengatakan bahwa penurunan vasospasme akan meningkatkan perfusi uteroplasenter. Obat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk tablet. 4. Diuretika Diuretika tidak digunakan kecuali jika didapatkan keadaan : a. edema paru b. payah jantung kongestif c. edema anasarka Yang dipakai adalah golongan furosemid. Baik tiazid maupun furosemid dapat menurunkan fungsi uteroplasenter. 5. Kardiotonika Indikasi pemberiannya ialah bila ditemukan tanda-tanda payah jantung. 6. Antipiretika Digunakan bila suhu rektal di atas 38,5°C ; dapat dibantu dengan pemberian kompres dingin. 7. Antibiotika Diberikan atas indikasi 8. Anti nyeri Bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi rahim dapat diberi petidin 50-75 mg sekali saja selambatlambatnya 2 jam sebelum bayi lahir. Mengingat dalam kasus rujukan preeklampsia berat - eklampsia, pos terdepan yang sering menemukan kasus ini adalah perawat atau bidan maka para petugas tersebut wajib dan harus mampu memberikan obat-obat pendahuluan yang mutlak dilakukan sebelum transportasi. Kewenangan dokter puskesmas dalam memberikan obat-obat pendahuluan dapat didelegasikan kepada perawat maupun bidan. Bila perawat atau bidan mengetahui dengan benar syarat-syarat, indikasi dan cara pemberian obat tersebut maka kecil kemungkinan terjadinya pengaruh sangkal obat-obat tersebut. Bila penderita preeklampsia - eklampsia kejang-kejang kemudian jatuh kedalam koma, maka selain diberikan pengobatan pendahuluan, perawatan pendahuluan juga penting dalam persiapan transportasi. Perlu diingat bahwa penderita koma tidak bereaksi atau mempertahankan diri terhadap: - suhu yang ekstrim - posisi tubuh yang menimbulkan nyeri - aspirasi Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma adalah buntunya jalan napas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh ke dalam koma harus dianggap bahwa jalan napas atas nya terbuntu, kecuali dibuktikan lain. Oleh karena itu tindakan pertama adalah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka. Cara yang sederhana dan cukup efektif adalah dengan cara head tilt-chin lift atau head tilt-neck lift yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kanul orofaringeal. Hal penting ke dua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan refleks muntah sehingga ancaman aspirasi bahan lambung sangat besar. Ibu hamil selalu dianggap memiliki lambung penuh, oleh sebab itu semua benda-benda yang berada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa makanan atau lendir harus diisap secara intermitten. Penderita ditidurkan dalam posisi yang stabil untuk drainase lendir. Pada penderita yang kejang tujuan pertolongan pertama ialah mencegah penderita mengalami trauma akibat kejangkejang tersebut. Penderita diletakkan di tempat tidur yang lebar; hendaknya dijaga agar kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak membentur benda di sekitarnya. Hindari fiksasi terlalu kuat yang justru dapat menimbulkan fraktur. Beri sudip lidah dan jangan mencoba melepas sudip lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Ruangan penderita harus cukup terang. Bila kejang-kejang reda, segera beri oksigen ( Soedarmo, 2003). Tindakan obstetric 1. Konservatif Kehamilan dipertahankan , sehingga ditunggu sampai persalinan spontan. 2. Aktif ( terminasi ) Indikasi : 1. Umur kehamilan >37 minggu
2. Terdapat kegagalan terapi konservatif medicinal
6 jam setelah pengobatan medicinal terjadi kenaikan tekanan darah
Tidak terdapat perbaiakan setelah 48 jam perawatan, dengan criteria tekanan diastolic >100 mmHg
3. Terdapat tanda-tanda gawat janin
4. Terdapat tanda-tanda IUGR
5. Terdapat HELP sindrom
Cara terminasi kehamilan
Belum dalam persalinan
1. Induksi
2. Section sesarea
• Terdapat kontraindikasi terhadap oksitosin
• Setelah 12 jam dalam induksi tidak masuk fasa aktif
• Primigravida lebih cenderung section cesaria
Sudah dalam persalinan
1. Kala 1 laten seksio cesaria
2. Kala 1 fase aktif amniotomi bila 6 jam setelah amniotomi tidak tercapai pembukaan lengkap dilakukan section cesaria
3. Kala 2 ekstraksi vacuum
Ekstraksi forsipal
BAB III
PENUTUPAN
Preeklamsi merupakan suatu syndrome yang diklasifikasikan sebagai hipertensi yang merupakan kompliksi dari kehamilan, yang biasanya muncul pada akhir kehamilan trimester kedua atau ketiga dan akan menghilang setelah janin dilahirkan. Preeklamsi ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuri yang massif. Dimana penyebab dari kelainan ini belum diketahui secara pasti namun beberapa sumber menyatakan bahwa preeklamsi ini dapat dipicu oleh Kelainan aliran darah menunju rahim, kerusakan pembuluh darah, masalah dengan sistim ketahanan tubuh, dan diet atau konsumsi makanan yang salah.
Peluang Terjadinya preeklamsi diperbesar dengan beberapa factor resiko antara lain seperti:
• Riwayat preeklamsi pada keluarga
• Kehamilan pertama
• Usia calon ibu lebih dari 35 tahun
• Obesitas
• Kehamilan kembar
• Kehamilan dengan diabetes
• Sejarah hipertensi
Preeklamsi dapat menyebabkan komplikasi pada ibu dan janin. Komplikasi yang terjadi pada Ibu dapat termanivestasi menjadi sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD).
Penanganan dari preeklmasi yang pertama adalah lakukan penanganan pada kejangnya yaitu bebaskan jalan nafas pada penderita, posisikan penderita pada keadaan cinthlit atau jawtrus, berikan 02 dengan sungkup bila perlu lakukan intubasi, kemudian posisikan penderita supaya terlindung dari trauma yang mungkin dapat terjadi ketika penderita mengalami kejang, lalu berikan obat anti kejang seperti MgSO4, kemudian berikan obat antihipertensi semisal nifedipin, kemudian observasi keadaan umum penderita, bila keadaan tidak mengalami perbaikan maka diindikasikan untuk melakukan persalinan secara cesar. Perawatan post partum dilakukan sampai dengan keadaan umum membaik yaitu dengan tetap memberikan antikonvulsan yang terus diberikan selama 24 jam post partum atau sampai kejang berhenti, terapi hipertensi tetap diteruskan apabila tekanan diastolic masih > 90 mmHg, dan tetap lakukan terus pemantauan jumlah urin.
DAFTAR PUSTAKA
Anfasa Farid et all. Standar pelayanan medik obstetri dan Ginekologi. Medicastore. 2006.
Poerwo soedarmo et all. 2003. “Cermin dunia kedokteran : kebidanan dan penyakit kandungan”. Jakarta : PT Kalbe Farma.
Subianto Teguh. Prosedur Penatalaksanaan Preeklamsi Berat, medicastore.2009.
Pangemanan w. 2002. “komplikasi akut pada preeklamsia”. Palembang : UNISRI Press.
Beki sri et all. Kadar MDA dan HSP 70 pada plasenta penderita preeklamsi. Emedicine. 2008.
OTOTOKSIK KARENA KONSUMSI AMINOGLIKOSIDA
OTOTOKSIK KARENA KONSUMSI AMINOGLIKOSIDA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini penyebab ketulian memang belum jelas, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara teliti pada penderita, maka terungkap bahwa sebagian besar ketulian penderita disebabkan karena obat atau yang biasa disebut dengan ototoksik, selain karena akibat mekanik atau faktor eksternal lain.
Penyebab umum gangguan pendengaran, terutama di negara-negara berkembang, adalah ototoxicity. ototoxic yang berupa kehilangan pendengaran terjadi ketika seseorang mengambil atau diberi obat yang menyebabkan gangguan pendengaran sebagai salah satu dari efek samping. Kadang-kadang obat yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, dan gangguan pendengaran adalah harga yang harus dibayar untuk bisa hidup
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk Arsen, etil, metal alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi pemicu terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler.
Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan diklinik rupanya memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan oleh streptomisin. Konsumsi Aminoglikosid dapat menyebabkan kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam, sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik.
Gejala mula-mula ialah timbulnya tinitus atau kadangkadang disertai dengan gangguan keseimbangan, sehingga bila obat diteruskan pemberiannya akan mengakibatkan ketulian. Sifat ketulian tersebut dapat reversibel atau irreversibel bila pemberian obat dihentikan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang Ototoksik khususnya yang disebabkan oleh obat golongan Aminoglikosida.
2. Mengetahui penatalaksanan dari Ototoksik yang terjadi karena konsumsi obat ototoksik hususnya Aminoglikosida.
C. Manfaat Penulisan
Untuk dapat memberikan penyuluhan tentang efek konsumsi obat golongan Aminoglikosida terhadap organ pendengaran. Sehingga diharapkan dalam penggunaan obat golongan Aminoglikosida dapat berhati-hati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Ototoksik
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen.
Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antaralain adalah obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal.
Gejala
Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dan dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus , gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas
Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika penting yang digunakan baik secara topikal atau pun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein.
Aminoglikosida dihasilkan oleh fungi Streptomyces dan micromonospora. Mekanisme kerjanya: bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel
Termasuk golongan ini: Streptomisin, Gentamisin, Neomisin, Kanamisin, Amikasin, Tobramisin, Kapreomisin. Spektinomisin dan Viomisin memiliki bagian struktur aminoglikosida, tetapi secara kimiawi tidak memiliki inti yang sama.
Pemakaian obat golongan Aminoglikosida dapat melalui telinga dalam melalui sistem darah, melalui inhalasi, atau melalui difusi dari telinga tengah ke telinga bagian dalam. Selain itu dapat juga dengan memasuki aliran darah dalam jumlah terbesar bila diberikan secara intravena (oleh IV).
Mekanisme kerja
aktivitas tergantung pada kadarnya, pada kadar rendah bersifat bakteriostatik, dan kadar tinggi bersifat bakterisid terhadap mikroba yang sensitif. Juga aktivitas potensinya lebih kuat pada suasana alkali daripada suasana asam. Pada keadaan anaerobik akan menurunkan potensi aktivitas. Golongan ini mengikatkan diri pada subunit 30S ribosom yang sensitive dari mikroba tersebut. Di samping ,efek terhadap ribosom tersebut juga menimbulkan berbagai efek sekunder terhadap fungsi sel mikroba, yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keuntuhan membran dan keutuhan RNA.
Perbedaan antar sesama aminoglikosida bersifat kuantitatif. Pada Kanamisin, Amikasin dan Gentamisin, potensi antimikrobanya melebihi Streptomisin.
Spektrum
Pada umumnya menunjukkan banyak persamaan dengan Streptomisin, a.l. terhadap Brucella. H. ducreyi, Actinobacilles, P. pestis dan Shigella, juga terhadap E. coli, M. tbc., Nocardia, Proteus.
Farmakokinetika
Sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada pemberian peroral tujuannya hanya untuk mendapatkan khasiat lokal dalam saluran cerna saja; umpamanya pada infeksi saluran cerna.
Untuk mendapatkan kadar sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu diberikarl secara perenatal dan biasanya dalam bentuk garam sulfat. Kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Peningkatan oleh protein plasma darah jelas terlihat pada Streptomisin yang berjumlah ± 1/3 dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Distribusi cukup meluas ke dalam seluruh cairan tubuh, kecuali ke dalam cairan otak.
Ekskresi
Terutama melalui ginjal dengan filtrasi glomeruler. Aminoglikosida yang diberikan dalam dosis tunggal, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal, keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan terutama pada Gentamisin., menunjukkan adanya kumulasi tertinggi dalam jaringan hati, media ginjal, otot skelet dan kelenjar ± 15%.
Adanya hambatan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi aminoglikosida yang berakibat terjadinya kumulasi dan cepat meningkatnya kadar dalam darah sampai lebih cepat mencapai kadar toksik. Juga pada bayi yang baru lahir/prematur dan penderita usia lanjut, dengan adanya gangguan ekskresi, masa paruh akan cepat meningkat.
Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida terutama target ginjal dan sistem cochleovestibular, namun tidak jelas ada korelasi antara tingkat nephrotoxicity dan ototoxicity. Toksisitas koklea yang mengakibatkan gangguan pendengaran biasanya dimulai dalam frekuensi tinggi dan sekunder untuk kerusakan ireversibel luar sel-sel rambut pada organ Corti, terutama pada pergantian basal koklea.
Mekanisme aminoglikosida ototoxicity diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar.. Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida sintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksi dengan oksida nitrat untuk membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secara langsung merangsang sel mati. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisi seperti sebagai besi dan tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnya fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen.
Ototoxicity aminoglikosida kemungkinan multifaktor, dan penyelidikan lebih lanjut terus berlanjut. Beberapa penelitian sedang menyelidiki chelators besi dan antioksidan sebagai agen mungkin untuk mencegah gangguan pendengaran selama terapi, sementara studi lain mengeksplorasi bentuk terapi gen sebagai pilihan pengobatan di masa depan.
Saat ini, tidak ada perawatan yang tersedia selain dari amplifikasi dan implantasi koklea, karena itu, pencegahan sangat penting.
Faktor risiko
Faktor-faktor tertentu bisa menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk ototoxicitas.. Ototoxicity aminoglikosida lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar, tingkat darah tinggi, atau lebih lama terapi. Lain pasien risiko tinggi termasuk pasien usia lanjut, mereka yang gagal ginjal, mereka yang memiliki masalah pendengaran yang sudah ada sebelumnya, orang-orang dengan sejarah keluarga ototoxicity, dan mereka yang menerima diuretik loop atau ototoxic lainnya atau obat-obatan nefrotoksik.
Sebuah kecenderungan genetik mitokondria ada di mutasi RNA 1555A> G, yang telah ditemukan untuk dihubungkan dengan nonsyndromic dan aminoglikosida-akibat gangguan pendengaran. Hal tersebut menyebabkan perubahan dalam sintesis protein mitokondria yang memiliki potensi lebih cepat dalam menimbulkan dampak ototksisitas karena Aminoglikosida.. Evaluasi yang teliti terhadap sejarah keluarga adalah penting dan dapat mencegah banyak kasus.. Selain itu, beberapa telah menyarankan bahwa populasi berisiko tinggi (misalnya, pasien dengan fibrosis kistik, sejarah keluarga, dan disfungsi kekebalan) harus diperiksa untuk antisipasi terjadinya efek ototoksik.
Efek samping
Dapat dibagi 3 kelompok :
1) allergi
2) reaksi irritasi dan toksik
3) perubahan biologik.
1. Reaksi allergi
Reaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulai dari pruritis, urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada yang berat ialah dermatitis eksfoliativa.
Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia. Gejala lain ialah stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin, Kanamisin, dan Gentamisin.
2. Reaksi iritasi dan toksik
Timbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. EfekI ototoksik; terutama terhadap saraf N VIII mengenai vestibuler dan akustik. Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler, sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh pelbagai faktor, antara lain besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat).
Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala –gejala ini bersifat reversibel dan kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12 sampai 18 bulan.
Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama 60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per hari, gejala terlihat pada 25% penderita.
Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%, dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar 7%. Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi.
Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin 4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas. Kanamisin 30%. Neomisin paling mudah menimbulkan tuli saraf. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain efek ototoksik, juga timbul effek nefrotoksik dan neurotoksik.
3. Perubahan biologi
Adanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus.Adanya interaksi obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik.
Macam obat golongan Aminoglikosida dan interaksinya
• Streptomisin:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan bberhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat untuk pengobatan TBC.
• Gentamicin:
Seperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi sistem vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada umumnya dianggap aman tapi masih dapat bersifat ototoksik pada beberapa pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal.
• Neomycin:
Agen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan secara peroral dan dalam dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomisin merupakan salah satu aminoglikosida yang paling lambat untuk mempengaruhi Perilimfe; akibatnya dapat muncul 1-2 minggu setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah penghentian terapi. Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal dalam saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia.
• Kanamycin:
Meskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin, kanamycin cukup bersifat ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut koklea, ditandai frekuensi tinggi gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak terutama ke koklea, sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan klinis saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara parenteral umumnya tidak dianjurkan.
• Amikacin:
amikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas sangat sedikit terhadap organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang melibatkan sistem pendengaran, namun itu dianggap kurang ototoxic dari pada gentamisin.
• Tobramycin:
Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin; menyebabkan tuli pada nada berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya ototoksik terhadap organ vestibuler. Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal. Terapi Topikal digunakan, umumnya dianggap aman.
Penatalaksanaan
Saat ini, tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikkan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dalam diketahui secara audiiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung dari jenis obat, jumlah, dan lamanya penggunaan obat. Hal tersebut lebih rentan terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan jenis obat itu sendiri.
Pengobatan yang tersedia saat ini ditujukan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi. Individu dengan gangguan pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, termasuk dengan mengguanakn sisa pendengaran dewngan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan blajar bahasa isyarat. Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah mendalam dapat diatasi dengan melakukan implan koklea. Dalam kasus kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat bernilai bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbangan
Tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan pada awalnya. kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk mekanismenya di rusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap organ vestibuler, sehingga gejala awal seperti tinnitus ataupun vertigo menjadi berkurang, walaupun pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ vestibuler lainnya atau organ akustik yang lain.
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik , maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah , lamanya pengobatan, dan kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Obat-obat yang dapat menyebabkan ketulian: golongan aminoglikosida, obat anti malaria, golongan salisilat, dan obat anti kanker.
Dari golongan amonoglikosida, yang paling sering pemakaiannya dan sering menimbulkan ketulian ialah Spreptomisin, Gentamisin dan Neomisin. Pemakaian kanamisin cukup banyak, tetapi persentase ketulian lebih kecil dibandingkan dengan ketiga obat tersebut. Efek teratogenik sering terjadi pada pemberian golongan aminoglikosida, yaitu berupa ketulian pada janin.
Walaupun Samapai saat ini belum ditemukan pengobatan untuk menyembuhkan tuli sensoryneural yang terjadi karena efek penggunaan obat golongan Aminoglikosida, penanganan yang membantu dapat dilakukan dengan implant coclea selain itu juga dapat dilakukan dengan terapi fisik untuk menjaga keseimbangan.
Saran
• Hendaknya berhati-hati dalam memberikan obat-obatann yang dapat menjadi pemicu timbulnya tuli sensory neural yang terjadi karena reaksi ototksisitas obat baik pada neonatus, bayi, anak, orang dewasa, orang tua dan juga pada ibu hamil.
• Apabila dalam terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-obatan yang bersifat ototoksik, semisal obat golongan Aminoglikosida hendaknya sebelum memulai pengobatan terlebihdahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien selain itu dilakukan juga uji keseimbangan dan tak lupa mengingatkan pasien tentang potensial ototoksisitas dari obat yang digunakannya. Sebaiknya pemantauan dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat yang bersifat ototoksik. Sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat ditanggulangi lebih dini.
• Hendaknya selama pengobatan monitoring fungsi pendengaran jangan diabaikan
Daftar pustaka
Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Edmunds ann L., November 2008. Iner Ear Ototoxycity. www.emedicine.com
Sriwidodo., 1998, Cermin dunia kedokteran: problema dan tatalaksana gangguan pendengaran, Jakarta: PT KalbeFarma.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini penyebab ketulian memang belum jelas, tetapi setelah dilakukan anamnesis secara teliti pada penderita, maka terungkap bahwa sebagian besar ketulian penderita disebabkan karena obat atau yang biasa disebut dengan ototoksik, selain karena akibat mekanik atau faktor eksternal lain.
Penyebab umum gangguan pendengaran, terutama di negara-negara berkembang, adalah ototoxicity. ototoxic yang berupa kehilangan pendengaran terjadi ketika seseorang mengambil atau diberi obat yang menyebabkan gangguan pendengaran sebagai salah satu dari efek samping. Kadang-kadang obat yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, dan gangguan pendengaran adalah harga yang harus dibayar untuk bisa hidup
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk Arsen, etil, metal alcohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi pemicu terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler.
Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan diklinik rupanya memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan oleh streptomisin. Konsumsi Aminoglikosid dapat menyebabkan kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam, sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik.
Gejala mula-mula ialah timbulnya tinitus atau kadangkadang disertai dengan gangguan keseimbangan, sehingga bila obat diteruskan pemberiannya akan mengakibatkan ketulian. Sifat ketulian tersebut dapat reversibel atau irreversibel bila pemberian obat dihentikan.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang Ototoksik khususnya yang disebabkan oleh obat golongan Aminoglikosida.
2. Mengetahui penatalaksanan dari Ototoksik yang terjadi karena konsumsi obat ototoksik hususnya Aminoglikosida.
C. Manfaat Penulisan
Untuk dapat memberikan penyuluhan tentang efek konsumsi obat golongan Aminoglikosida terhadap organ pendengaran. Sehingga diharapkan dalam penggunaan obat golongan Aminoglikosida dapat berhati-hati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Ototoksik
Ototoksik adalah gangguan yang terjadi pada alat pendengaran yang terjadi karena efek samping dari konsumsi obat-obatan. Gangguan yang terjadi pada pendengaran biasanya bermanifestasi menjadi tuli sensoryneural. Yang dapat bersifat reversibel dan bersifat sementara, atau tidak dapat diubah dan permanen.
Obat-obatan yang biasanya memberikan efek ototoksik antaralain adalah obat golongan Aminoglikosida, Loop Diuretics, Obat Anti Inflamasi, Obat Anti Malaria, Obat Anti Tumor, dan Obat Tetes Telinga Topikal.
Gejala
Gejala ototoxicity bervariasi dari obat satu dengan obat lain dan dan dari orang satu dengan lainya. Yang dapat termanifestasi menjadi Tinitus , gangguan pendengaran ataupun vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas
Golongan Aminoglikosida
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotika penting yang digunakan baik secara topikal atau pun sistemik untuk pengobatan infeksi yang disebabkan bakteri gram negatif. Aminoglikosida memberi efek membunuh bakteri melalui pengikatan subunit ribosomal 30S dan mengganggu sintesis protein.
Aminoglikosida dihasilkan oleh fungi Streptomyces dan micromonospora. Mekanisme kerjanya: bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel
Termasuk golongan ini: Streptomisin, Gentamisin, Neomisin, Kanamisin, Amikasin, Tobramisin, Kapreomisin. Spektinomisin dan Viomisin memiliki bagian struktur aminoglikosida, tetapi secara kimiawi tidak memiliki inti yang sama.
Pemakaian obat golongan Aminoglikosida dapat melalui telinga dalam melalui sistem darah, melalui inhalasi, atau melalui difusi dari telinga tengah ke telinga bagian dalam. Selain itu dapat juga dengan memasuki aliran darah dalam jumlah terbesar bila diberikan secara intravena (oleh IV).
Mekanisme kerja
aktivitas tergantung pada kadarnya, pada kadar rendah bersifat bakteriostatik, dan kadar tinggi bersifat bakterisid terhadap mikroba yang sensitif. Juga aktivitas potensinya lebih kuat pada suasana alkali daripada suasana asam. Pada keadaan anaerobik akan menurunkan potensi aktivitas. Golongan ini mengikatkan diri pada subunit 30S ribosom yang sensitive dari mikroba tersebut. Di samping ,efek terhadap ribosom tersebut juga menimbulkan berbagai efek sekunder terhadap fungsi sel mikroba, yaitu terhadap respirasi, adaptasi enzim, keuntuhan membran dan keutuhan RNA.
Perbedaan antar sesama aminoglikosida bersifat kuantitatif. Pada Kanamisin, Amikasin dan Gentamisin, potensi antimikrobanya melebihi Streptomisin.
Spektrum
Pada umumnya menunjukkan banyak persamaan dengan Streptomisin, a.l. terhadap Brucella. H. ducreyi, Actinobacilles, P. pestis dan Shigella, juga terhadap E. coli, M. tbc., Nocardia, Proteus.
Farmakokinetika
Sangat sukar diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada pemberian peroral tujuannya hanya untuk mendapatkan khasiat lokal dalam saluran cerna saja; umpamanya pada infeksi saluran cerna.
Untuk mendapatkan kadar sistemik yang efektif, aminoglikosida perlu diberikarl secara perenatal dan biasanya dalam bentuk garam sulfat. Kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu 1/2 sampai 2 jam. Peningkatan oleh protein plasma darah jelas terlihat pada Streptomisin yang berjumlah ± 1/3 dari seluruh aminoglikosida dalam darah. Distribusi cukup meluas ke dalam seluruh cairan tubuh, kecuali ke dalam cairan otak.
Ekskresi
Terutama melalui ginjal dengan filtrasi glomeruler. Aminoglikosida yang diberikan dalam dosis tunggal, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui ginjal, keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan terutama pada Gentamisin., menunjukkan adanya kumulasi tertinggi dalam jaringan hati, media ginjal, otot skelet dan kelenjar ± 15%.
Adanya hambatan fungsi ginjal akan menghambat ekskresi aminoglikosida yang berakibat terjadinya kumulasi dan cepat meningkatnya kadar dalam darah sampai lebih cepat mencapai kadar toksik. Juga pada bayi yang baru lahir/prematur dan penderita usia lanjut, dengan adanya gangguan ekskresi, masa paruh akan cepat meningkat.
Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida terutama target ginjal dan sistem cochleovestibular, namun tidak jelas ada korelasi antara tingkat nephrotoxicity dan ototoxicity. Toksisitas koklea yang mengakibatkan gangguan pendengaran biasanya dimulai dalam frekuensi tinggi dan sekunder untuk kerusakan ireversibel luar sel-sel rambut pada organ Corti, terutama pada pergantian basal koklea.
Mekanisme aminoglikosida ototoxicity diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar.. Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida sintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksi dengan oksida nitrat untuk membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secara langsung merangsang sel mati. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisi seperti sebagai besi dan tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnya fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen.
Ototoxicity aminoglikosida kemungkinan multifaktor, dan penyelidikan lebih lanjut terus berlanjut. Beberapa penelitian sedang menyelidiki chelators besi dan antioksidan sebagai agen mungkin untuk mencegah gangguan pendengaran selama terapi, sementara studi lain mengeksplorasi bentuk terapi gen sebagai pilihan pengobatan di masa depan.
Saat ini, tidak ada perawatan yang tersedia selain dari amplifikasi dan implantasi koklea, karena itu, pencegahan sangat penting.
Faktor risiko
Faktor-faktor tertentu bisa menempatkan pasien pada peningkatan risiko untuk ototoxicitas.. Ototoxicity aminoglikosida lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar, tingkat darah tinggi, atau lebih lama terapi. Lain pasien risiko tinggi termasuk pasien usia lanjut, mereka yang gagal ginjal, mereka yang memiliki masalah pendengaran yang sudah ada sebelumnya, orang-orang dengan sejarah keluarga ototoxicity, dan mereka yang menerima diuretik loop atau ototoxic lainnya atau obat-obatan nefrotoksik.
Sebuah kecenderungan genetik mitokondria ada di mutasi RNA 1555A> G, yang telah ditemukan untuk dihubungkan dengan nonsyndromic dan aminoglikosida-akibat gangguan pendengaran. Hal tersebut menyebabkan perubahan dalam sintesis protein mitokondria yang memiliki potensi lebih cepat dalam menimbulkan dampak ototksisitas karena Aminoglikosida.. Evaluasi yang teliti terhadap sejarah keluarga adalah penting dan dapat mencegah banyak kasus.. Selain itu, beberapa telah menyarankan bahwa populasi berisiko tinggi (misalnya, pasien dengan fibrosis kistik, sejarah keluarga, dan disfungsi kekebalan) harus diperiksa untuk antisipasi terjadinya efek ototoksik.
Efek samping
Dapat dibagi 3 kelompok :
1) allergi
2) reaksi irritasi dan toksik
3) perubahan biologik.
1. Reaksi allergi
Reaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulai dari pruritis, urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada yang berat ialah dermatitis eksfoliativa.
Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia. Gejala lain ialah stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin, Kanamisin, dan Gentamisin.
2. Reaksi iritasi dan toksik
Timbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. EfekI ototoksik; terutama terhadap saraf N VIII mengenai vestibuler dan akustik. Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler, sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh pelbagai faktor, antara lain besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat).
Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala –gejala ini bersifat reversibel dan kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12 sampai 18 bulan.
Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama 60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per hari, gejala terlihat pada 25% penderita.
Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%, dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar 7%. Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi.
Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin 4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas. Kanamisin 30%. Neomisin paling mudah menimbulkan tuli saraf. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain efek ototoksik, juga timbul effek nefrotoksik dan neurotoksik.
3. Perubahan biologi
Adanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus.Adanya interaksi obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik.
Macam obat golongan Aminoglikosida dan interaksinya
• Streptomisin:
Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan bberhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat untuk pengobatan TBC.
• Gentamicin:
Seperti streptomisin, gentamisin memiliki kecenderungan untuk mempengaruhi sistem vestibular. Indeks terapi sebesar 10-12 mcg / mL pada umumnya dianggap aman tapi masih dapat bersifat ototoksik pada beberapa pasien. Hati-hati dalam pemberian dosis pada pasien dengan penyakit ginjal.
• Neomycin:
Agen ini adalah salah satu yang paling cochleotoxic bila diberikan secara peroral dan dalam dosis tinggi, karena itu, penggunaan sistemik umumnya tidak dianjurkan. Neomisin merupakan salah satu aminoglikosida yang paling lambat untuk mempengaruhi Perilimfe; akibatnya dapat muncul 1-2 minggu setelah konsumsi ataupun dapat terjadi kemudian setelah penghentian terapi. Neomisin Meskipun umumnya dianggap aman bila digunakan topikal dalam saluran telinga atau pada lesi kulit kecil, sama efektifnya alternatif yang tersedia.
• Kanamycin:
Meskipun kurang bersifat ototoksiks dibandingkan neomisin, kanamycin cukup bersifat ototoxic. Kanamycin memiliki kecenderungan mendalam menyebabkan kerusakan sel rambut koklea, ditandai frekuensi tinggi gangguan pendengaran, dan lengkap tuli. Efek yang merusak terutama ke koklea, sedangkan sistem vestibular biasanya terhindar dari cedera. penggunaan klinis saat ini sudah dibatasi. Sepertihalnya dengan neomisin, penggunaan secara parenteral umumnya tidak dianjurkan.
• Amikacin:
amikasin adalah turunan dari kanamycin dan memiliki toksisitas sangat sedikit terhadap organ vestibular. Efek yang merugikan terutama yang melibatkan sistem pendengaran, namun itu dianggap kurang ototoxic dari pada gentamisin.
• Tobramycin:
Ototoxicity dari tobramisin adalah serupa dengan amikasin; menyebabkan tuli pada nada berfrekuensi tinggi. Seperti halnya dengan kanamycin, jarang menyebabkan terjadinya ototoksik terhadap organ vestibuler. Tobramisin sering digunakan secara otic dan topikal. Terapi Topikal digunakan, umumnya dianggap aman.
Penatalaksanaan
Saat ini, tidak ada pengobatan yang dapat mengembalikkan kerusakan telinga yang terjadi karena konsumsi obat-obatan golongan Aminoglikosida. Bila pada waktu pemberian obat-obatan ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dalam diketahui secara audiiometrik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian tergantung dari jenis obat, jumlah, dan lamanya penggunaan obat. Hal tersebut lebih rentan terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan jenis obat itu sendiri.
Pengobatan yang tersedia saat ini ditujukan untuk mengurangi dampak kerusakan dan merehabilitasi fungsi. Individu dengan gangguan pendengaran dapat dibantu dengan alat bantu dengar, psikoterapi, auditory training, termasuk dengan mengguanakn sisa pendengaran dewngan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan blajar bahasa isyarat. Dan mereka yang mengalami gangguan pendengaran bilateral yang sudah mendalam dapat diatasi dengan melakukan implan koklea. Dalam kasus kehilangan fungsi keseimbangan, terapi fisik merupakan hal yang sangat bernilai bagi banyak individu. Tujuannya adalah untuk membantu otak menjadi terbiasa dengan informasi yang berubah dari telinga bagian dalam dan untuk membantu individu dalam mengembangkan cara lain untuk menjaga keseimbangan
Tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi karena rusaknya organ vestibuler seperti terjadinya tinnitus, vertigo, ataupun kehilangan keseimbangan rupanya juga dapat ditanggulangi dengan obat aminoglikosida, dengan mempengaruhi system vestibuler yang sebenarnya sudah mengalami kelainan pada awalnya. kelainan awal di organ vestibuler yang sudah terbentuk mekanismenya di rusak oleh aminoglikosida yang bersifat ototoksik terhadap organ vestibuler, sehingga gejala awal seperti tinnitus ataupun vertigo menjadi berkurang, walaupun pada akhirnya dapat memberikan efek ototoksik pada organ vestibuler lainnya atau organ akustik yang lain.
Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik , maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan pengguanaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo.
Pada pasien yang menunjukan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan
Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah , lamanya pengobatan, dan kerentanan pasien. Pada umumnya prognosis tidak begitu baik
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Obat-obat yang dapat menyebabkan ketulian: golongan aminoglikosida, obat anti malaria, golongan salisilat, dan obat anti kanker.
Dari golongan amonoglikosida, yang paling sering pemakaiannya dan sering menimbulkan ketulian ialah Spreptomisin, Gentamisin dan Neomisin. Pemakaian kanamisin cukup banyak, tetapi persentase ketulian lebih kecil dibandingkan dengan ketiga obat tersebut. Efek teratogenik sering terjadi pada pemberian golongan aminoglikosida, yaitu berupa ketulian pada janin.
Walaupun Samapai saat ini belum ditemukan pengobatan untuk menyembuhkan tuli sensoryneural yang terjadi karena efek penggunaan obat golongan Aminoglikosida, penanganan yang membantu dapat dilakukan dengan implant coclea selain itu juga dapat dilakukan dengan terapi fisik untuk menjaga keseimbangan.
Saran
• Hendaknya berhati-hati dalam memberikan obat-obatann yang dapat menjadi pemicu timbulnya tuli sensory neural yang terjadi karena reaksi ototksisitas obat baik pada neonatus, bayi, anak, orang dewasa, orang tua dan juga pada ibu hamil.
• Apabila dalam terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-obatan yang bersifat ototoksik, semisal obat golongan Aminoglikosida hendaknya sebelum memulai pengobatan terlebihdahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien selain itu dilakukan juga uji keseimbangan dan tak lupa mengingatkan pasien tentang potensial ototoksisitas dari obat yang digunakannya. Sebaiknya pemantauan dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat yang bersifat ototoksik. Sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat ditanggulangi lebih dini.
• Hendaknya selama pengobatan monitoring fungsi pendengaran jangan diabaikan
Daftar pustaka
Arsyad efiaty et all., 2006, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hindung Tenggorok Kepala Leher: edisi 5, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Edmunds ann L., November 2008. Iner Ear Ototoxycity. www.emedicine.com
Sriwidodo., 1998, Cermin dunia kedokteran: problema dan tatalaksana gangguan pendengaran, Jakarta: PT KalbeFarma.
cedera kepala
CEDERA KEPALA
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
- Mobilitas palatum
- Mobilitas hidung yang menyertai palatum
- Epistaksis
- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.
Kalsifikasi menurut le fort
Lefort 1
Fraktur nelintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi (Boies, 2002).
Lefort II
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tngah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)
Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial (Boies,2002).
Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)
Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)
Fraktur orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies, 2002)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
8. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
REVISI
Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial Focal
Epidural hematom
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur
Subdural Hematom
1.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan
Intracerebral hematom
1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif
2. Fotofobia
3. Mual dan muntah
4. Hilang kesadaran
5. Kejang-kejang
6. Gangguan respiratori
7. Shock
Perbedaan MRI dengan CT Scan secara umum
MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di
bidang pemeriksaan diagnostik radiologi ,yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia.
Gambaran tersebut didapat dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dengan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen.
Beberapa faktor kelebihannya adalah kemampuan dalam membuat potongan
koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh
pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.
CT Scan
CT Scan atau Computed tomography adalah pencitraan medis yang diperoleh dengan menggunakan sinar-X. radiasi tersebut melewati tubuh dan diterima oleh detektor dan kemudian terintegrasi dengan komputer untuk mendapatkan gambar cross sectional yang ditampilkan pada layar.
CT, Computerized Axial Tomgraphy, menggunakan xrays untuk menghasilkan gambar tubuh, termasuk tulang .. Dalam CT scanner tabung x-ray, (sumber) berputar di sekitar pasien meletakkan di atas meja. Di sisi berlawanan dari pasien dari tabung detektor x-ray.. detektor ini menerima berkas yang membuat melalui pasien. Sinyal yang diterima oleh masing-masing saluran adalah digital untuk nilai 16 bit dan dikirim ke prosesor rekonstruksi. Pengukuran diambil sekitar 1000 kali per detik. Scan rotasi biasanya 1-2 detik. Setiap tampilan / saluran sepotong scan data dibandingkan dengan memindai data kalibrasi udara, air dan polyethelyne, (plastik lunak) sebelumnya diperoleh di lokasi yang relatif sama persis. Perbandingan mengijinkan piksel gambar untuk memiliki nilai yang dikenal untuk suatu zat tertentu dalam tubuh tanpa memandang perbedaan dalam ukuran pasien dan faktor eksposur.
Daftar pustaka
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
- Mobilitas palatum
- Mobilitas hidung yang menyertai palatum
- Epistaksis
- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.
Kalsifikasi menurut le fort
Lefort 1
Fraktur nelintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi (Boies, 2002).
Lefort II
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tngah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)
Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial (Boies,2002).
Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)
Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)
Fraktur orbita
Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies, 2002)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
8. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
REVISI
Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial Focal
Epidural hematom
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur
Subdural Hematom
1.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan
Intracerebral hematom
1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif
2. Fotofobia
3. Mual dan muntah
4. Hilang kesadaran
5. Kejang-kejang
6. Gangguan respiratori
7. Shock
Perbedaan MRI dengan CT Scan secara umum
MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di
bidang pemeriksaan diagnostik radiologi ,yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia.
Gambaran tersebut didapat dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dengan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen.
Beberapa faktor kelebihannya adalah kemampuan dalam membuat potongan
koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh
pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.
CT Scan
CT Scan atau Computed tomography adalah pencitraan medis yang diperoleh dengan menggunakan sinar-X. radiasi tersebut melewati tubuh dan diterima oleh detektor dan kemudian terintegrasi dengan komputer untuk mendapatkan gambar cross sectional yang ditampilkan pada layar.
CT, Computerized Axial Tomgraphy, menggunakan xrays untuk menghasilkan gambar tubuh, termasuk tulang .. Dalam CT scanner tabung x-ray, (sumber) berputar di sekitar pasien meletakkan di atas meja. Di sisi berlawanan dari pasien dari tabung detektor x-ray.. detektor ini menerima berkas yang membuat melalui pasien. Sinyal yang diterima oleh masing-masing saluran adalah digital untuk nilai 16 bit dan dikirim ke prosesor rekonstruksi. Pengukuran diambil sekitar 1000 kali per detik. Scan rotasi biasanya 1-2 detik. Setiap tampilan / saluran sepotong scan data dibandingkan dengan memindai data kalibrasi udara, air dan polyethelyne, (plastik lunak) sebelumnya diperoleh di lokasi yang relatif sama persis. Perbandingan mengijinkan piksel gambar untuk memiliki nilai yang dikenal untuk suatu zat tertentu dalam tubuh tanpa memandang perbedaan dalam ukuran pasien dan faktor eksposur.
Daftar pustaka
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins
Langganan:
Postingan (Atom)