BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batuk merupakan suatu ekspirasi yang eksplosive, merupakan mekanisme perlindungan normal untuk membersihkan tracheobronchial dari sekret dan benda asing. Batuk dapat terjadi dengan sengaja atau karena refleks. Batuk dimulai dengan inspirasi dalam diikuti dengan menutupnya glotis, relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan penutupan glotis yang menyebabkan tekanan intratoraks meningkat . Ketika glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antara saluran napas dan udara luar menghasilkan aliran udara yang cepat melewati trakea. Batuk membantu membuang mukus dan bahan-bahan asing. (1)
Saluran pernapasan dimulai dari rongga hidung sampai saluran – saluran kecil alveoli paru. Pada setiap saluran ini terdapat pembuluh darah. Umumnya penyebab terjadinya perdarahan sehingga terjadi batuk darah adalah karena robeknya lapisan saluran pernapasan sehingga pembuluh darah di bawahnya ikut sobek dan darah mengalir keluar. Adanya cairan darah kemudian dikeluarkan oleh adanya refleks batuk. (1)
Batuk darah adalah darah atau dahak bercampur darah yang dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah distal). batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga menyebabakan takut untuk berobat ke dokter .biasanya penderita menahan batuk karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan penyumbatan karena bekuan darah. batuk darah pada dasarnya akan berhenti sendiri asal tidak ada robekan pembuluh
darah,berhenti sedikit-sedikit pada pengobatan penyakit dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. (2)
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa. (2)
B. Tujuan Penulisan
Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengetahui diagnosis yang tepat serta penatalaksaannya karena batuk darah masif merupakan keadaan gawat dalam bidang kedokteran yang dapat merenggut nyawa penderitanya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah haemoptoe atau haemoptysis. (3)
Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit yang mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang seksama. (4)
B. Etiologi
Berdasar etiologi maka dapat digolongkan :
1. Batuk darah idiopatik.
Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30- 50 tahun kebanyakan 40-60 tahun Yang berhenti spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder.
Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya
a. Oleh karena keradangan , ditandai vascularisasi arteri bronkiale > 4% (normal1%)
1) TB : batuk sedikit-sedikit , masif perdarahannya, bergumpal.
2) Bronkiektasis : campur purulen
3) Apses paru : campur purulen
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir
b. Neoplasma
1) karsinoma paru
2) adenoma
c. Lain-lain:
1) trombo emboli paru – infark paru
2) mitral stenosis
3) kelainan kongenital aliran darah paru meningkat
ASD
VSD
4) trauma dada
C. Patogenesis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4)
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpasture’s syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah (7).
D. Gejala Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut benar-benar batuk darah dan bukan muntah darah. (3)
Tabel 1.Tabel membedakan batuk darah dengan muntah darah (8)
No Keadaan
BATUK DARAH MUNTAH DARAH
1 Prodromal Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan Darah dimuntahkan dengan rasa mual (Mual Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat disertai dengan muntah Darah dimuntahkan, dapat disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, hemosiderin, makrofag Sisa makanan
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat penyakit dahulu (RPD) Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus pepticum, kelainan hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) /
Benzidine Test (-) Blood Test (+) /
Benzidine Test (+)
Kriteria batuk darah: (9)
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam)
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam)
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif: (8)
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
E. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutan- urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan. (2)
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan
b. Lamanya perdarahan
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik
f. Hubungannya perdarahan dengan gerakan fisik, istirahat, posisi badan dan batuk
g. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu (2)
2. Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi : Rales
- Kemungkinan menonjolkan lokasi
- Ada aspirasi
- Ronchi menetap , whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca, bekuan darah
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing : bronkiektasis, neoplasma (2)
3. Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya. (2)
Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto toraks. (3)
Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak langsung). (3)
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui. (2,3)
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : (2)
a. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
b. Batuk darah yang berulang
c. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.
F. Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:
1. Mencegah asfiksia
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengobati penyebab utama perdarahan
Langkah-langkah: (5)
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
• Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps kardiovaskuler
• Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah dipertimbangkan sejak awal
• Pasien dibimbing untuk batuk yang benar
2. Mencegah obstruksi saluran napas
• Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi
• Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan bronkoskopi
3. Menghentikan perdarahan
• Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade perdarahan
• Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. (2)
Masalah utama dalam hemoptosis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptosis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. (2)
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
i. Terapi konservatif
Penatalaksanaan batuk darah masif di Biro Pulmologi Rumkital dr.Mintohardjo dengan cara Konservatif. Dasar-dasar pengobatanYang diberikan sebagai berikut : (6)
- Mencegah penyumbatan saluran nafas.
- Memperbaiki keadaan umum penderita.
- Menghentikan perdarahan.
- Mengobati penyakit yang mendasarinya (underlying disease).
Mencegah penyumbatan saluran nafas.
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perda- rahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif. (6)
Memperbaiki Keadaan Umum Penderita.
Bila perlu dapat dilakukan :
- Pemberian oksigen.
- Pemberian cairan untuk hidrasi.
- Tranfusi darah.
- Memperbaiki keseimbangan asam dan basa. (6)
Menghentikan Perdarahan.
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus. (6)
Di Biro Pulmologi RSAL Mintohardjo masih memberikan Hemostatika (Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat. (6)
Mengobati penyakit-penyakit yang mendasarinya (Underlying disease).
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai. (6)
ii. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru adekuat, tidak ada kontra indikasi bedah. (12)
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan: (4)
- Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
- Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
- Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
G. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor : (13)
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan : (3)
1. Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal. Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam).
2. Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi karena darah terhisap ke bagian paru yang sehat.
3. Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan kolaps dan terjadi atelektasis.
4. Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila perdarahan terjadi dalam waktu lama.
H. Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : (2)
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
hemopthoe<200ml/24jam®supportifve baik
- profuse massive >600cc/24jam®prognose jelek 85% meninggal
* dengan bilateral far advance
* faal paru kurang baik
* terdapat kelainan jantung
BAB III
KESIMPULAN
1. Hemoptoe merupakan salah satu gejala pada penyakit paru saluran pernapasan dan atau kardiovaskuler yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
2. Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari nasofaring atau gastrointestinal.
3. Pada umumnya hemoptosis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif.
4. Tujuan pokok terapi hemoptisis ialah mencegah asfiksia, menghentikan perdarahan dan mengobati penyebab utama perdarahan
5. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
6. Pada prinsipnya penanganan hemoptoe ditujukan untuk memperbaiki kondisi kardiopulmoner dan mencegah semua keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Penanganan tersebut dilakukan secara konservatif maupun dengan operasi, tergantung indikasi serta berat ringannya hemoptisis yang terjadi.
7. Prognosis dari hemoptoe ditentukan oleh tingkatan hemoptoe, macam penyakit dasar dan cepatnya tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wihastuti R, Maria, Situmeang T, Yunus F. 1999. Profil penderita batuk darah yang berobat ke bagian paru RSUP Persahabatan Jakarta. Journal Respir Indo 19 : 54-9
2. Nugroho, A. 2002. Hemoptisis masif. . Kesehatan Milik Semua : Pusat Informasi Penyakit dan Kesehatan . Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan. www.infopenyakit.com
3. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. pp. 301-5
4. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/27bdd48b1f564a5010f814f09f2373c0d805736c.pdf. Diakses pada tanggal 10 Januari 2011.
5. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2000; 28(5):1642-7
6. Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006. hal.220-1
7. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2000. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis. Respiration 67:412-6
8. Amirullah, R. 2004. Gambaran dan Penatalaksanaan Batuk Darah di Biro Pulmonologi RSMTH. Cermin Dunia Kedokteran No.33 : 30-32
9. PAPDI. 2006. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI