Minggu, 05 Juni 2011

Manifestasi Anemia Aplastik pada Rongga Mulut Anak Dan Penatalaksanaannya

BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan situasi atau keadaan dimana jumlah sel darah merah dan atau konsentrasi hemoglobin berkurang dibawah noramal.
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Penyakit ini ditandai oleh pansitopenia dan aplasia sumsum tulang dan pertama kali dilaporkan tahun 1888 oleh Ehrlich pada seorang perempuan muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan, dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposelular (tidak aktif). Pada tahun 1904, Chauffard pertama kali menggunakan nama anemia aplastik. Puluhan tahun berikutnya defenisi anemia aplastik masih belum berubah dan akhirnya tahun 1934 timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda khas penyakit ini adalah pansitopenia sesuai konsep Ehrlich. Pada tahun 1959. Gejala klinik dari anemia aplastik dapat termanifestasi menjadi beberapa tanda sesuai dengan etiologi yang mendasarinya seperti anemia, leucopenia, dan trombositopenia. Salah satunya dapat menyebabkan terjadinya peradangan (ulserasi) pada mukosa mulut, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya (Mugiyanti, 2007).
Stomatitis merupakan peradangan pada bagian mucosa mulut yang bisa disebabkan karena infeksi maupun non infeksi seperti trauma, defisiensi nutrisi, alergi, gangguan imunitas, dan manifestasi dari penyakit sistemik di mulut.
TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan memahami lebih dalam tentang manifestasi anemia aplastik pada kelainan mulut pada anak-anak.
2. Mengetahui penatalaksanan dari kelainan mulut yang disebabkan karena anemia aplastik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Anemia Aplastik

DEFINISI
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau bisitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga sebagai anemia hipoplastik.

EPIDEMIOLOGI
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di negara maju: 3 – 6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di Timur jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di negara Barat. Di negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidennya 2 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan di negara Barat, insiden anemia aplastik di dapat di eropa dan Israel sebanyak 2 kasus per 1 juta penduduk. laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita, faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis, diduga memegang peranan penting (Mugiyanti, 2007).

ETIOLOGI
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui, atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik Primer
1. Kelainan Kongenital :
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti microcephali, strabismus, anomaly jari, kelaianan ginjal dan sebaliknya.
2. Idiopatik: penyebabnya tidak dapat ditentukan Sekunder
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
b. Akibat idiosinkratik
c. Karena penyebab lain:
Infeksi Virus: Epstein-Barr virus (EBV)
Akibat kehamilan (Hasan, 2007)

KLASIFIKASI
Berdasarkan derajat pansitopenia tepi, anemia aplastik didapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat Risiko morbiditas dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia ketimbang selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80%: infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplasik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagai besar tidak membutuhkan terapi (Mugiyanti, 2007).

GEJALA KLINIK
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopenia dan trombositopenia . gejala ini dapat berupa :
a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat.
b. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahn kulit seperti petekie dan akimosis. Perdarahan organ dalam lebih jarang di jumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
c. Tanda-tanda infeksi dapat berupa febris, ulserasi mulut (stomatitis) atau syok septic (Hasan, 2007).

PEMERIKSAAN FISIS
Hasil pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali yang sebabnya bermacam-macam, ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis (Mugiyanti, 2007).

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah Tepi. Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis anemia adalah normokrom nomositer. Kadang-kadang, ditemukan pula makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritorsit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Laju endap darah. Selalu meningkat, bahwa 62 dari 70 kasus (89%) mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
Sum-sum tulang. Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering di perlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sum-sum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik.
DIAGNOSIS
Pada dasarnya diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di darah tepi dengan hipoplasia sum-sum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) adalah:
1. Satu dari tiga sebagai berikut:
a. hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari 30% ,
b. trombosit kurang dari 50x10 /L
c. leukosit kurang dari 3,5x10 /L, atau netrofil kurang dari 1,5 x 109/L
2. Dengan retikulosit < 30xl09/L (<1%)
3. Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat):
a. Penurunan selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan deplesi seri granulosit dan megakariosit.
b. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik

PENATALAKSANAAN
a. Mengobati masalah yang berbahaya dulu seperti perdarahan, infeksi, gagal jantung konjesti
b. Transplantasi sumsum dengan donor HLA-identik (sibling) kalau kasus anemia aplastik berat sekali.
c. Rx imunosupresif: anti-thymocyte globulin (ATG), cyclosporine, kortikosteroid, steroid androgenik, growth factors
d. Siaga untuk kemungkinan kecil pasien aplastik kemudian menderita leukemia(Hasan, 2007).
Stomatitis
DEFINISI
Stomatitis adalah peradangan pada mukosa (lapisan lendir) mulut yang bisa mengenai mukosa pipi, bibir dan langit-langit. Stomatitis merupakan infeksi yang dapat terjadi secara tersendiri atau bisa merupakan bagian dari penyakit sistemik. Dapat berupa radang yang terjadi di daerah mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan dengan permukaan yang agak cekung, bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun kelompok (Sasanti, 2009)
JENISNYA SECARA KLINIS
Secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:
1. Stomatitis aphtosa minor
Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang ditandai oleh luka (ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematus. Ulserasi ini cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari tanpa meninggal bekas (Nurhayati, 2010)
2. Stomatitis aphtosa major
sebagian kecil dari pasien yang terjangkit stomatitis aphtosa jenis ini. Namun jenis stomatitis aphtosa pada jenis ini lebih hebat daripada stomatitis jenis minor. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, dan berlangsung selama 4minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.
Stomatitis aphtosa major ini meninggalkan bekas, bekas pernah adanya ulser seringkali dapat dilihat penderita; jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi (Nurhyati, 2010).
3. Ulserasi herpetiformis (HU)
Istilah ’herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes initidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi aphtosa (Nurhayati, 2010).
GEJALA
Gejalanya berupa rasa panas atau terbakar yang terjadi satu atau dua hari yang kemudian bisa menimbulkan luka (ulser) di rongga mulut. Bercak luka yang ditimbulkan akibat dari sariawan ini agak kaku dan sangat peka terhadap gerakan lidah atau mulut sehingga rasa sakit atau rasa panas yang dirasakan ini dapat membuat kita susah makan, susah minum, ataupun susah berbicara (Sasanti, 2009).
Penderita penyakit ini biasanya juga banyak mengeluarkan air liur. Biasanya sariawan ini akan sembuh dengan sendirinya adalam waktu empat sampai 20 hari. Bila penyakit ini belum sembuh sampai waktu 20 hari maka penderita harus diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ada sel kankernya atau tidak. Pada stomatitis aphtosa yang berat, dapat digunakan suatu alat pelindung mulut yang bersih dengan pengolesan anestetik lokal dibawah alat tersebut (Widjaya, 2010).
DAERAH YANG TERINFEKSI
Biasanya daerah yang paling sering timbul stomatitis aphtosa (sariawan) ini pada daerah mukosa pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta langit-langit dalam rongga mulut.
PATOFISIOLOGI
pada anemia aplastik dapat terjadi leucopenia atau menurunnya jumlah sel darah putih (leucosit) kurang dari 4500-10.000/mm3 penurunan sel darah putih ini akan menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi. Respon inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunana system imunitas fisis meksnik dimana dapat menyerang pada selaput lender, kulit, silia, saluran nafas sehingga bila selaput lendirnya yang terkena maka akan mengakibatkan stomatitis yang berupa ulserasi dan nyeri pada mulut serta faring, sehingga mengalami kesulitan dalam menelan dan menyebabkan penurunan masukan diet dalam tubuh (Widjaya, 2010).
Selain itu juga dapat terjadi trombositopenia, dimana jumlah trombosit dibawah 100.000/mm3 . akibat dari trombositopenia antara lain ekimosis, ptecie, epistaksis, perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan syaraf dan perdarahan saluran cerna. Gejla dari perdarahan saluran cerna adalah anoreksia, nausea, konstipasi, atau diare dan stomatitis (sariawan pada lidah dan mulut) perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan hematemesis melena. Perdarahan akibat trombositopenia mengakibatkan aliran darah ke jaringan menurun (Widjaya, 2010).

PENATALAKSANAAN
Dalam mengatasi sariawan ini, dapat menggunakan beberapa jenis obat, baik dalam bentuk salep (yang mengandung antibiotika dan penghilang rasa sakit), obat tetes, maupun obat kumur. Jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal di masyarakat dan bisa membantu meredakan keluhan akibat sariawan. Ada jenis obat berbentuk salep dengan kandungan kortikosteroid yang dioleskan pada luka sariawan. Ada juga obat tetes yang digunakan untuk meredakan sariawan ini dengan gentien violet, perak nitrat, atau obat kumur yang dapat membantu mengurangi rasa sakit pada penderita sariawan. Dan juga pemberian vitamin C atau zat besi dalam dosis tinggi pada penderita sariawan yang kekurangan zat-zat tersebut sering dapat menolong. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan vitamin, akan lebih baik bila diperoleh dari sayuran dan buah-buahan yang merupakan vitamin natural. Mengonsumsi vitamin natural lebih efetif dibandingkan dengan mengonsumsi suplemen. Bila dikonsumsi berlebihan tidak akan merusak tubuh, karena kelebihannya akan dikeluarkan oleh tubuh. Selain itu juga lebih mudah diserap oleh tubuh. Dan jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
Pada stomatitis juga dapat ditatalaksana dengan menggunakan obat kortikosteroid, Kortikosteroid dianggap mendesak pengaruh-pengaruh anti-inflamatorinya yang kuat melalui penghambatan pelepasan fosfolipase A2, sebuah enzim yang bertanggungjawab untuk pembentukan prostaglandin, leukotriene, dan turunan yang lain dari jalur asam arachidonik. Kortikosteroid juga menghambat faktor-faktor transkripsi, seperti protein aktivator 1 dan faktor nuklear KB, yang terlibat dalam aktivasi gen-gen pro-inflammatory. Gen-gen telah diketahui diupregulasi oleh kortikosteroid-kortikosteroid dan gen-gen tersebut berperan dalam resolusi inflamasi termasuk lipocortin dan p11/protein yang mengikat calpactin, yang keduanya terlibat dalam pelepasan asam arachidonik. Lipocortin I menghambat fosfolipase A2, yang mengurangi pelepasan asam arachidonik dari fosfolipid. Kortikosteroid juga menurunkan pelepasan interleukin 1α (IL-1α), sebuah sitokin pro-inflamatori yang penting, yang berasal dari keratinosit. Mekanisme-mekanisme lainnya yang diusulkan untuk pengaruh-pengaruh anti-inflamatori dari kortikosteroid termasuk penghambatan fagositosis dan stabilisasi membran lisosom pada sel-sel fagosit.
Sebagian besar keefektifan kortikosteroid juga disebabkan oleh kemampuan imunosuppresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh faktor humoral yang terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi leukosit menuju ke bagian inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel, granulosit, sel-sel mast, dan fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam menangani anemia aplastik sekaligus menangani stomatitisnya.
PENCEGAHAN
Dengan mengetahui penyebabnya, kita diharapkan dapat menghindari terjadinya stomatitis aphtosa (sariawan) ini, diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama pada makanan yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Selain itu, anda juga dianjurkan untuk menghindari stress. Namun bila sariawan selalu hilang timbul, anda dapat mencoba dengan kumur-kumur air garam hangat dan berkonsultasi dengan dokter gigi dengan meminta obat yang tepat sariawannya.
Ada beberapa usaha lain yang dilakukan untuk mencegah munculnya sariawan. Misalnya, menjaga kesehatan umum terutama kesehatan pada mulut, menghindari luka pada mulut saat menggosok gigi atau saat menggigit makanan, menghindari pasta gigi yang merangsang, menghindari kondisi stress, menghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin, sering mengkonsumsi buah dan sayuran, terutama vitamin B, vitamin C, dan zat besi; serta menghindari makanan dan obat-obatan atau zat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada rongga mulut (Hasan, 2007).








BAB III
KESIMPULAN


Anemia aplastik merupaka keadaan yang disebabkan bekurangnya sel hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Dan dari pemeriksaan berupa anemia, leukopeni, dan trombositopeni dapat termanifestasikan menjadi beberapa gejala klinis, yang salah satunya dapat memicu terjadinya ulcuserasi pada mucosa mulut atau biasa disebut dengan stomatitis apthosa.
Penatalksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplstik dapat dilakukan dengan Menggunakan antibiotic dan obat penghilang rasa sakit yang berupa obat tetes maupun kumur. Selain itu juga perlu didukung dengan memperbaiki causa penyebabnya. Serta diharapkan kebersihan mulut dapat terpelihara dengan baik, yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya stomatitis pada anemia aplastik. Asupan nutrisi yang adekuat juga diperlukan dalam usaha pemulihannya.
Pada penatalaksanaan stomatitis yang terjadi karena anemia aplastik dapat menggunakan obat kortikosteroid, yang dapat bermanfaat sekaligus bagi keduanya. Dimana kortikosteroid memiliki efek sebagai kemampuan imunosuppresifnya. Kortikosteroid menekan produksi dan pengaruh-pengaruh faktor humoral yang terlibat pada respon inflamatori, menghambat migrasi leukosit menuju ke bagian inflamasi, dan mengganggu fungsi sel-sel endothel, granulosit, sel-sel mast, dan fibroblast. Sehingga kortikosteroid juga efektif dalam menangani anemia aplastik sekaligus menangani stomatitisnya.




DAFTAR PUSTAKA


Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11, Infomedika: Jakarta.

Nurhayati Desiana, 2011, Stomatitis pada anak, word press, rubric bunda magazine.

Sasanti Harum, 2009, Stomatitis yang sering dijumpai di klinik, staf pengajar FKG UI, Jakarta.

Mugiyanti, 2007, cermin dunia kedokteran: anemia aplastik, word press: Jakarta.

Widjaya agustinus,2010, Peyakit Anemia Aplastik merupakan penyakit defisit darah, Menyebabkan Pendarahan dan Rentan terhadap Infeksi, www.emedicine.com